TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketersediaan lahan yang semakin terbatas di kota besar, memicu perkembangan model hunian bertingkat.
Belajar dari pengalaman negara di seluruh dunia, aturan main hunian bertingkat sudah dikembangkan dengan menetapkan sistem manajemen properti online (berbasis telematika) yang transparan, bisa diakses dari mana saja, kapan saja dengan berbagai macam perangkat elektronik.
"Sehingga tidak bisa lagi dilakukan berbagai manipulasi dan pengutipan uang tanpa kejelasan dasar dan peruntukan," ujar Mayjend (purn) Saurip Kadi pada acara Kongres Penghuni Rumah Susun Indonesia membentuk Induk Koperasi Kelola Kawasan (IK3) Berbasis Sistem Manajemen Properti Online (Telematika) di Cawang Jakarta Timur, Rabu (18/12/2013).
Dia menyebutkan, dari sisi hukum di negara maju sudah diterapkan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sehingga aspek hukum sinkron dengan perkembangan teknologi.
Selain itu, tidak ada konflik pemahaman atas pasal-pasal UU. Seluruhnya terintegrasi, termasuk penerapan azas transparansi dan anti monopoli, dimana pengembang baik langsung maupun yang terafiliasi dan terkoneksi tidak boleh jadi pengelola.
Lebih lanjut dikatakan, Pengurus Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS), sebagai lembaga nirlaba wajib menerapkan manajemen berbasis telematika sehingga tidak bisa dijadikan sumber penghasilan bagi pengurusnya.
"Maka musyawarah warga sebagaimana di desa-desa, kampung-kampung dan juga lembaga adat hanya dihadiri oleh warga yaitu penghuni baik pemilik maupun penyewa yang mempunyai fokus langsung dan kongkret terhadap kualitas hunian (kenyamanan, keamanan, kedamaian," jelasnya.
Karena peraturan per Undang-undangan yang terkait tidak ditegakkan dengan sungguh-sungguh, untuk melindungi kepentingan penghuni dari cengkeraman pengelola yang dahulunya adalah pengembang.
"Hingga soal iuran agar pelayanan kepada warga berkualitas prima, tidak diperbolehkan dengan menggunakan surat kuasa kepada pihak-pihak manapun yang bukan penghuni," katanya.
Sebaliknya justru UU dan aturan turunannya digunakan sebagai alat akal-akalan, bahkan digunakan untuk kriminalisasi warga karena hukum "Wani Piro".
"Lebih parah lagi ketika negara lalai dan tidak hadir ketika rakyat dalam hal ini penghuni secara fisik berhadapan dengan preman dan satpam berseragam yang dibayar oleh pengelola untuk menghadapi penghuni," pungkasnya.