TRIBUN, JAKARTA - Kerapnya penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran kode etik bukan rahasia umum, dan terjadi khususnya di pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Demikian temuan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Berdasar temuan DKPP, pelanggaran kode etik terjadi dari tahapan penanganan Daftar Pemilih Tetap (DPT), pendiskualifikasian karena persyaratan seperti ketercukupan jumlah dukungan atau pemenuhan persyaratan yang lewat waktu, penyalahgunaan jabatan atau kewenangan, dugaan penyuapan, netralitas, dan imparsialitas.
"Ketakcermatan penetapan bakal pasangan calon mengakibatkan hilangnya hak-hak politik warga negara, termasuk pelanggaran kode etik penyeleggara pemilu," ungkap juru bicara DKPP, Nur Hidayat Sardini, di Jakarta, Kamis (2/1/2014).
Dia menambahkan, pengelolaan tahapan pemilu yang tak netral mengambil keputusan atau di satu sisi meng-anakemas-kan peserta pemilu dan di sisi lain meng-anaktiri-kan peserta pemilu, jadi salah satu bagian yang dinilai DKPP sebagai pelanggaran berat dalam pelanggaran pemilu.
Nur menambahkan, DKPP ada sebagai pengawal integritas, kemandirian, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Tak lain agar proses dan tahapan pemilu serta hasil-hasilnya dapat dipercaya masyarakat luas. Sehingga hasil pemilu tak dipertanyakan kemudian hari.
"Agar pemilu dipercaya proses tahapan dan hasil-hasilnya, tentu saja diberangkatkan dari integritas, kemandirian, dan kredibilitas penyelenngara Pemilu-nya. Itu syarat mutlak," beber mantan Ketua Badan Pengawas Pemilu periode sebelumnya ini.