TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitera MK, Kasianur Sidauruk menyebut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sering menawarkan diri menangani perkara sengketa Pilkada.
Demikian disampaikan Kasianur, ketika bersaksi untuk terdakwa Hambit Bintih dan Cornelis Nalau Antun di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (16/1/2014).
Kasianur menerangkan bahwa ada tiga panel hakim di MK. Dari ketiga panel tersebut, ujar Kasianur, memang panel yang dipimpin Akil yang banyak menangani perkara sengketa pilkada.
Hal itu dikarenakan, panel yang didalamnya juga ada hakim Maria Farida dan Anwar Usman tersebut bersidang dengan cepat. Sehingga, banyak perkara baru yang ditangani panel hakim Akil.
"Memang volume perkara khusus mengenai pilkada hampir seimbang antara tiga panel. Hanya volumenya bertambah pada yang bersangkutan (Akil) atau panel satu. Karena panel satu bersidang dari pagi sampai malam sehingga perkaranya cepat selesai. Karena perkara sudah selesai, Pak Akil katakan jika ada perkara yang masuk silahkan saja," kata Kasianur di hadapan majelis hakim.
Oleh karena itu juga, lanjut Kasianur, banyak perkara sengketa pilkada yang masuk ke panel satu. "Padahal, dikepaniteraan sudah melampirkan catatan, bahwa yang ditangani Pak Akil sudah banyak. Tetapi kepaniteraan hanya melampirkan catatan itu, karena tetap keputusannya ada di Ketua MK dalam menetukan siapa hakim panel perkara yang masuk," ujarnya.
Seperti diketahui, Akil memang diduga tidak hanya menerima suap atau bermain dalam perkara sengketa pilkada di Lebak, Banten dan Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Melainkan juga, perkara sengketa Pilkada di Lampung Selatan, Pilkada Empat Lawang dan Pilkada Palembang.
Kemudian, berdasarkan pengembangan, KPK menambahkan satu pasal untuk menjerat Akil, yaitu Pasal 12B UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sangkaan Pasal 12B tentang gratifikasi baru ditambahkan kepada Akil lantaran KPK menduga Akil kerap menerima pemberian hadiah/janji yang berkaitan dengan jabatannya sebagai Ketua MK.
Bahkan, terhadap Akil akhirnya juga dijerat menggunakan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tahun 2002 dan 2010.