News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kuasa Hukum: Penolakan di Praperadilan Bahalwan Jadi Preseden Buruk

Penulis: Adi Suhendi
Editor: Hasiolan Eko P Gultom
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mohammad Bahalwan, Direktur Operasional PT Mapna Indonesia yang menjadi tersangka kasus korupsi pelaksanaan pekerjaan Life Time Extention (LTE) Gas Turbine (GT) 2.1 dan 2.2 Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Blok 2 Belawan tahun 2012.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Adi Suhendi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim kuasa hukum dari Kantor Hukum Assegaf Hamzah and Partners (AHP) menghormati putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menolak gugatan Praperadilan Mohammad Bahalwan dalam perkara dugaan korupsi pekerjaan life time extension (LTE) Gas Turbine (GT) 2.1 dan 2.2 PLTGU Blok 2 Belawan.

Kendati demikian, AHP selaku kuasa hukum Mohammad Bahalwan mengaku kecewa pada putusan tersebut dan menilai putusan tersebut bisa menjadi preseden buruk.

“Putusan ini bisa jadi preseden buruk, karena setiap orang bisa ditahan hanya karena dia ditetapkan sebagai tersangka," ujar Eri Hertiawan, perwakilan kuasa hukum dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (17/2/2014).

Dikatakannya, penahanan adalah perampasan hak sesorang, maka harus ada bukti yang cukup sebagai dasar sahnya penahanan.

"Sedangkan dalam persidangan praperadilan, termohon (Jaksa Agung) tidak dapat membuktikan telah adanya bukti permulaan yang cukup, terutama telah adanya perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK,” ujarnya.

Eri juga kecewa dengan putusan hakim karena ada fakta yang dikesampingkan, yaitu fakta bahwa PT Mapna Indonesia bukan pihak yang terikat perjanjian dalam pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2 PLTGU Blok 2 Belawan.

“Hakim tidak mempertimbangkan unsur ‘barang siapa’, karena Mohammad Bahalwan sebagai Direktur PT Mapna Indonesia bukanlah pihak yang terikat dalam hubungan kontraktual dengan PT PLN (Persero) Sumatera Bagian Utara selaku pemberi pekerjaan,” ungkapnya.

Eri melanjutkan, hal penting yang bisa diambil dari putusan tersebut, yaitu penahanan tersangka bisa dengan mudah dilakukan karena bukti-bukti yang digunakan dalam penyidikan menurut hakim merupakan bukti-bukti yang levelnya berbeda dengan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan.

Dalam hal perkara Mohammad Bahalwan, penahanan hanya berdasarkan bukti administratif, bukan didasarkan pada bukti permulaan yang cukup yang disangkakan sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

“Di sinilah kekeliruannya, bukti-bukti pada tahap penyidikan  harusnya sama dengan bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan. Karena tidak ada bukti baru atau berlainan dengan tahap penyidikan. Kalau hal seperti ini diikuti, berarti penahanan mungkin saja dilakukan tanpa bukti permulaan yang cukup.

Dan bukti-bukti dalam penyidikan yang digunakan untuk melakukan penahanan ini tertutup, tidak bisa diuji dalam praperadilan, atau bisa saja berbeda dengan bukti-bukti saat proses persidangan,” ungkapnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini