TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin menilai proses pemilihan hakim konstitusi di DPR seperti anomali. Sebab, Hakim Konstitusi merupakan orang yang dianggap negarawan.
"DPR mencari negarawan tapi disuruh mendaftar, disuruh buat makalah terus ditanya-tanya," kata Irman dalam diskusi di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (27/2/2014).
Hal itu berbeda saat pemilihan Kapolri. Ketika presiden menyodorkan nama Kapolri, maka Komisi III DPR mendatangi kediamannya. Kemudian berbicara dengan keluarga calon Kapolri.
"Padahal Kapolri tidak seberat menjadi Hakim konstitusi. Seharusrnya proses yang terjadi harus lebih berwibawa dalam rekrutmen hakim konstitusi," kata Irman.
Ia mengatakan seharusnya DPR menilai negarawan yang pantas menjadi hakim konstitusi. Kemudian, Komisi III DPR mendatangi kediamannya untuk mengetahui rekam jejak dan kesehariannya.
Irman juga mengusulkan Hakim Konstitusi tidak perlu ditanya tetapi menyampaikan gagasannya di sidang paripurna DPR. "Jadi kalau tidak lolos yang tetap terhormat. Kedepan harus dipikirkan hal itu," ujarnya.
Ia lalu mencontohkan saat UU MK terbentuk lalu beberapa hari kemudian sudah ada tokoh yang menduduki jabatan hakim konstitusi.
"Setelah UU MK ditetapkan dan disahkan DPR dengan Presiden, langsung ada orangnya, Pak Jimly Asshiddiqie, tidak perlu buat makalah dan MK tidak bermasalah," ungkapnya.