News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Century

Sri Mulyani Akui Boediono Inisiator Bank Gagal Berdampak Sistemik untuk Century

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Managing Director Bank Dunia Sri Mulyani Indrawati bersaksi dalam sidang mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa Bank Indonesia Budi Mulya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (2/5/2014). Budi didakwa karena diduga terlibat kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada 2008 mengungkapkan, usulan bank gagal berdampak sistemik untuk Bank Century berasal dari pihak Bank Indonesia.

"Kalau tentang perbankan itu berdampak sistemik itu dari Bank Indonesia," ujar Sri Mulyani saat bersaksi dalam sidang kasus dugaan korupsi terkait Bank Century dengan terdakwa mantan Deputi Gubernur BI, Budi Mulya, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (2/5/2014).

Menurut Sri Mulyani usulan tersebut disampaikan dalam sebuah surat BI yang ditandatangani oleh Gubernur BI saat itu, Boediono (sekarang wakil presiden) dalam rapat KSSK pada 20-21 November 2008. Rapat tersebut dihadiri oleh Sri Mulyani selaku Ketua KSSK, Boediono selaku anggota KSSK, Raden Pardede selaku Sekretaris KSSK, Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Ketua UKP3R, beberapa Deputi Gubernur BI dan beberapa pihak terkait.

"Kalau berdasarkan surat tanggal 20 itu Gubernur Bank Indonesia," jelasnya.

Sri Mulyani yang saat ini menjabat Managing Director Bank Dunia dihadirkan pihak jaksa KPK sebagai saksi persidangan perkara dugaan korupsi pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dengan terdakwa Budi Mulya.

Rencananya, jaksa KPK akan menghadirkan Wakil Presiden Boediono selaku mantan Gubernur BI untuk persidangan Terdakwa Budi Mulya, Jumat (9/5/2014) depan.

Dalam dakwaan atas Budi Mulya, nama Boediono disebut berkali-kali karena menjadi Gubernur Bank Indonesia yang memimpin berbagai rapat Dewan Gubernur BI yang memutuskan pemberian FPJP senilai Rp 689 miliar yang dilanjutkan dengan Penyetoran Modal Sementara (PMS) untuk Bank Century senilai Rp 6,7 triliun.

Sementara Sri Mulyani pada 2008 adalah Menteri Keuangan yang juga menjabat sebagai Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang memutuskan bahwa Bank Century adalah bank gagal berdampak sistemik. Saat ini Sri Mulyani menjadi Managing Director Bank Dunia yang berkedudukan di Washington DC, Amerika Serikat.

Pada perkara pemberian FPJP, Budi Mulya didakwa bersama-sama dengan Boediono selaku Gubernur BI, Miranda Swaray Goeltom selaku Deputi Gubernur Senior BI, Siti Chalimah Fadjriah selaku Deputi Gubernur bidang 6 Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah, S Budi Rochadi (sudah meningal dunia) selaku Deputi Gubernur bidang 7 Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang, BPR dan Perkreditan, Robert Tantular dan direktur utama Bank Century Hermanus Hasan Muslim dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp 689,39 miliar.

Selanjutnya, Budi Mulya bersama sejumlah petinggi BI lainnya dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp 6,76 triliun karena menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Kerugian negara disebut memperkaya Budi Mulya sebesar Rp 1 miliar, pemegang saham PT Bank Century yaitu Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq dan Rafat Ali Rizvi sebesar Rp 3,115 triliun, Robert Tantular sebesar Rp 2,753 triliun, dan Bank Century sebesar Rp 1,581 triliun.

Jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp 1 miliar. (coz)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini