TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kaum intelektual termasuk politisi diminta untuk tidak melacurkan diri demi masa depan bangsa dan negara.
Kaum intelektual harus memiliki martabat (dignity) dan kehormatan (pride) dalam berpolitik karena apa yang dilakukannya merupakan cermin dari integritas “kenegarawan”nya.
Penting bagi kaum intelektual memiliki kesetiaan dalam berpolitik untuk mencegah hancurnya negara dan bangsa Indonesia lebih dalam. Ketiadaan kesetiaan dalam berpolitik adalah akar kehancuran bangsa dan generasi mendatang Indonesia.
Demikian ditegaskan, Muliawan Margadana, Ketua Umum Presidium Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) di tengah diskusi publik dalam rangka Dies Natalis ke-56 organisasi tersebut, di Jakarta, Sabtu (24/5/2014).
Diskusi Publik bertema “Pemimpin dan Kejujuran” itu menghadirkan Fadli Zon (Waketum Partai Gerindra) dan Andreas Parera (Ketua DPP PDIP) sebagai pembicara, serta Budiman Tanureja (Wapimred Kompas), Hemien Kleden (Executive Editor Majalah Tempo) dan Agung Pambudhi (Direktur Executif Apindo) sebagai panelis. Diskusi dipandu oleh AM Putut Prabantoro, konsultan komunikasi politik.
Dijelaskan Muliawan bahwa kejujuran seorang pemimpin dituntut melalui sikap setia. Kesetiaan ini adalah barang langka dalam dunia politik Indonesia. Banyak contoh yang bisa dilihat di panggung politik Indonesia, para intelektual yang tidak setia dan “melacurkan” diri, pindah partai ataupun pindah koalisi. Mereka tidak peduli pada cap yang akan diberikan publik kepadanya.
“Dalam dunia politik, kesetiaan itu penting karena menyangkut nasib dan masa depan rakyat, bangsa dan negara Indonesia. Jika dengan mudah seorang intelektual, negarawan ataupun politisi pindah-pindah dari partai ke partai lain, dari koalisi ke koalisi lain, itu sama saja meletakkan masa depan bangsa pada orang yang rapuh jiwanya dan tidak dewasa mentalnya. Itu sama saja dengan melacurkan diri karena menjual sesuatu demi kepentingan pribadi dan bukan kepentingan idealisme. Padahal politisi itu yang harus ditawarkan adalah idealismenya,” ujar Muliawan Margadana.
Soal kesetiaan dalam berpolitik itulah, menurut Muliawan, Ketum Presidium ISKA kedua kalinya, yang mendorong ISKA menetapkan 2014 sebagai Tahun Kejujuran. Indonesia membutuhkan pemimpin yang jujur, yang setia dan yang memiliki karakter.
“Seorang politisi yang karena sakit hati, kecewa lalu pindah ke lain hati, lalu pindah ke kelompok lain, partai lain atau bahkan koalisi lain, ya politisi itu belum matang mentalnya dan tidak memiliki kejujuran dalam berpolitik. Jika tidak memiliki kejujuran bagaimana akan membawa bangsa ini ke suatu tujuan yang lebih besar. Kesetiaan itu menuntut pengorbanan, kesabaran dan kekedewasaan. Mereka yang memiliki tiga sifat ini pasti memiliki karakter,” lanjut Muliawan.
Lebih jauh ditegaskan, sikap para politisi yang tidak setia mendorong rakyat atau bangsa ini juga melacurkan diri. Sehingga jangan heran jika rakyat Indonesia akhirnya melacurkan diri dengan cara merelakan diri mendapat “serangan fajar” atau menjadi korban politik uang (money politic) dengan harga murah.
Kehancuran bangsa dan negara Indonesia, Muliawan memprediksi, hanya menunggu waktu. Jika para politisi tidak memiliki kesetiaan, dengan sadar melacurkan diri pada kepentingan pribadi dan bukan pada idealisme serta ditambah dengan masyarakat permisif atas serangan fajar atau politik uang, tinggal menunggu waktu saja kehancuran bangsa Indonesia.
Dikatakannya, “Siapa yang bisa menyelamatkan bangsa Indonesia ? ya para politisi itu… karena merekalah yang akan mengatur negara ini berjalan. Siapa yang akan menjadi korban kalau negara ini hancur, rakyatlah. Siapa yang senang ? Negara asing atau pengaruh asing. Kita ini selalu teriak soal nasionalisme, tetapi kita tidak memiliki kesetiaan. Kalau kesetiaan saja tidak punya, apalagi kejujuran. Setia pada sumpah jabatan, setia pada idealism, setia pada prinsip – itulah yang dibutuhkan Indonesia saat ini.”