TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahmad Kamaludin, seorang karyawan PT Rifuel menjadi saksi dalam kasus korupsi pengadaan videotron di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Tahun anggaran 2012.
PT Rifuel merupakan perusahaan milik anak Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan, Riefan Avrian. Sehari-hari Kamaludin bekerja di bagian administrasi sejak 2007.
Dalam persidangan untuk terdakwa Hendra Saputra, Kamaludin sering terdiam sejenak saat akan menjawab pertanyaan yang dilontarkan jaksa penuntut umum, majelis hakim, dan kuasa hukum Hendra.
Bahkan kesaksiannya pun sempat berbeda saat ditanya uang Rp19 juta yang diberikan Riefan. Sebelum ia menjawab bahwa uang Rp19 juta merupakan pemberian Riefan karena anak menteri tersebut menjanjikan membiayainya hingga selesai kuliah.
"Rp19 juta itu dianggap sebagai biaya sekolah saya di Universitas Satya Negara. Pada 2013 Pak Riefan berjanji akan membiayai sekolah saya sampai selesai," ungkap Kamaludin dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6/2014).
Ia mengaku bahwa uang tersebut dikembalikan kepada penyidik sebagai barang bukti, Ia beralasan mengembalikan uang tersebut lantaran takut tersangkut kasus korupsi Rp23 miliar tersebut.
"Saat itu saya dalam keadaan panik. Saya takut terlibat," ujarnya.
Tetapi, saat ditanya hakim, ia justru mengakui uang Rp19 juta yang diterimanya merupakan bonus dari Riefan. "Bonus videotron," ujarnya.
Kuasa hukum Hendra yang melihat sikap Kamaludin agak berbeda pun mempertanyakan apakah Kamaludin ketakutan karena mendapatkan ancaman. Menjawab hal tersebut Kamaludin membantahnya. "Tidak, saya hanya gugup," ujarnya.
Kejaksaan tinggi DKI Jakarta menetapkan empat orang tersangka dalam kasus ini di antaranya Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Hasnawi Bachtiar, anggota panitia penerima barang dan jasa Kasiyadi, Direktur PT Imaji Media Hendra Saputra, dan Riefan Avrian pemilik PT Rifuel sekaligus anak Menteri Koperasi dan UKM, Syarief Hasan.
Kasus korupsi Rp23 miliar di Kementerian Koperasi dan UKM pada 2012 ini menyedot perhatian masyarakat lantaran seorang office boy yang bekerja kepada anak sang menteri dicatut namanya menjadi direktur PT Imaji Media dalam rangka memenangkan proyek videotron.
Lebih miris lagi, Kejaksaan Tinggi justru menyeret terlebih dahulu office boy tersebut ke pengadilan.