TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Angkatan Muda Restorasi Indonesia (AMRI) berpandangan, cetak biru kebijakan kehutanan ke depan harus lebih inovatif dengan tidak hanya mengandalkan ekstraksi kayu sebagai andalan seperti dilakukan rezim reformasi.
Hal ini disampaikan Ketua Umum AMRI, Riza Suarga dalam diskusi media Visi Pemerintah ke depan tentang Restorasi Sumber Daya Alam di Jakarta, Kamis (26/06).
Berdasarkan data analisa citra landsat Kementerian Kehutanan, Indonesia adalah negara dengan luas hutan tropis kedua terbesar di dunia setelah Brazil, dengan total luas daratan 187,4 juta hektare yang mana total hutan tetap adalah seluas 110,4 juta hektare (kawasan hutan produksi seluas 60,9 juta hektare, kawasan hutan lindung dan konservasi 49,5 juta hektare).
Menurut Riza, kehutanan di zaman Orde Baru sempat menjadi penyelamat negara dari ambang kebangkrutan sebanyak dua kali yaitu krisis minyak mentah di tahun 1970-an dan 1980-an.
Ditambahkan Riza, kehutanan juga pernah menjadi andalan penerimaan devisa negara sebagai penghasil devisa netto terbesar dan bahkan antara 1996-2000 produk kayu merupakan produk ekspor yang memiliki keunggulan komparatif pertama dengan indeks 12,96 jauh melampaui tekstil dan produk tekstil yang hanya memperoleh indeks 1,7.
"Praktis semenjak reformasi tidak terjadi penambahan luas maupun realisasi baru mengingat memang dihentikannya penyaluran Dana Reboisasi untuk pembangunan hutan tanaman industri tersebut," ujarnya.
Salah satu kebijakan yang paling realistis adalah menjadikan sumber daya hutan sebagai alternatif sumber energi berkelanjutan yang paling efektif dan realistis. Hanya diperlukan lahan sekitar 1.500-2.000 hektar biomass yang mampu memberikan kontribusi sebesar 5-10 MW energi listrik terbarukan.
"Kapasitas 5-10 MW adalah sangat ideal bagi skala kabupaten terutama di luar Jawa, sehingga alternatif pengganti PLTD sudah dapat terjawab dalam waktu cepat," tukasnya.