TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Timur, Zainuddin Amali dikabarkan sempat melakukan komunikasi dengan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar.
Dalam komunikasi itu, Akil meminta uang Rp 10 miliar guna penanganan sengketa Pilkada Jawa Timur di MK. Namun penyerahan uang Rp 10 miliar itu tidak terealisasi sebab Akil lebih dahulu ditangkap KPK, terkait dugaan suap penanganan Pilkada Lebak dan Gunung Mas.
Itu bahkan masuk dalam putusan Akil Mochtar yang dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa lalu.
Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Moratorium Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, niatan Amali memberikan uang RP 10 miliar kepada Akil bisa masuk ranah hukum pidana dengan dasar Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi. Meskipun, Akil belum menerima uang yang dijanjikan Amali.
"Pemberian janji atau percobaan peyuapan dapat dipidana menurut UU Korupsi," kata Emerson, Kamis (3/7/2014).
Emerson menyatakan, KPK harus mendalami dugaan percobaan suap itersebut. Sebab sudah ada dasar dari Amali untuk memberikan uang Rp 10 miliar kepada Akil.
"Jadi meskipun belum selesai atau terjadi, tapi niat sudah ada. Sehingga KPK harus proses dugaan percobaan suap ini," kata Emerson.
Emerson menambahkan, KPK bisa menjerat Amali sebagai tersangka. Namun, lembaga antikorupsi itu harus memiliki dua alat bukti terlebih dahulu.
"Sepanjang KPK punya alat bukti maka jangan ragu tetapkan dia (Amali) sebagai tersangka. Putusan bisa jadi bukti petunjuk," ujarnya.
Emerson berharap KPK tidak hanya berhenti kepada Akil. KPK yang dipimpin Abraham Samad Cs itu harus memproses para penyuap Akil.
"Mereka yang menyuap Akil harus diproses secara hukum dan ditetapkan sebagai tersangka," katanya.