TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komunikasi antara pemerintah mendatang dan rakyat Indonesia hendaknya dalam bentuk “memberi (giving)”.
Apa yang tidak diperoleh penduduk Indonesia sebagai rakyat dari pemerintahan sebelumnya hendaknya dapat terwujud pada pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Itulah Giving dari pemerintahan baru ini untuk rakyat. Komunikasi tidak harus dalam bentuk verbal, yang lebih penting adalah dengan cara “memberi” apa yang seharusnya diterima rakyat Indonesia.
Demikian ditegaskan Pdt Fu Kwet Khiong M.A, dalam Dies Natalis Sekolah Tinggi Teologia Iman (STT Iman) Ke-33, Jakarta, Sabtu (23/8/2014), saat ditanya terkait dengan harapannya terhadap pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla mendatang.
Menurut Pendeta Fu, pemerintahan sebelumnya terlampau banyak berwacana tanpa wujud jelas dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat rakyat Indonesia.
Berulangkali pemerintah menyatakan pemerintah Indonesia mendukung pluralisme, keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika dll. Namun pada kenyataan, wujud dari komunikasi verbal itu tidak pernah ada.
"Inilah yang saya sebut pemerintahan rencana alias wacana. Salah satu Bentuk wacana, pemerintah senantiasa berbicara melindungi rakyat miskin, menghargai kehidupan masyarakat yang beraneka ragam. Namun yang muncul adalah bentuk komunikasi minoritas dan mayoritas, suku berkuasa dan ras nomor dua, rakyat kelas elit dan masyarakat terpinggirkan,” ujarnya.
Pendeta Fu mencontohkan beberapa kejadian yang muncul dalam sikap pemerintah yang tidak mencerminkan sikap yang seharusnya ditunjukkan kepada masyarakat Indonesia. Kasus penyegelan Gereja Yasmin Bogor yang tidak tuntas meski sudah ada fatwa MA dan tidak melindungi kelompok minoritas seperti kasus Sunni – Syiah di Sampang, Madura, sebagai contoh.
Pendeta yang adalah di GSRI Citra, Jakarta Barat ini berharap bahwa pemerintah mendatang tidak mengulangi lagi sikap pendiaman atas ketidakadilan atau keberpihakan kepada yang mayoritas.
Mendiamkan masyarakat dalam situasi terancam, tidak terlindungi, terintimidasi dan juga terprovokasi juga merupakan kejahatan besar yang dilakukan oleh pemerintah.
“Semua kejadian yang saya sebutkan ada di depan mata dan terjadi di antara kita. Pemerintah dan bahkan aparat tidak mengambil tindakan apapun atas sikap intimidasi kelompok tertentu kepada masyarakat. Lha bagaimana caranya untuk mengatakan bahwa pemerintah telah melakukan sesuatu ? telah memberi hak yang harusnya diterima oleh masyarakat ?” kata Pendeta Fu.
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kala akan dikatakan berhasil, demikian dijelaskan, jika mereka mampu memberi perlindungan, keamanan, penjagaan dan rasa damai kepada rakyat Indonesia.
Mereka dikatakan berhasil jika komunikasi ala preman yang senantiasa mengancam dan mengintimidasi pihak yang lemah bisa dihilangkan. Komunikasi yang selama ini terjadi adalah, komunikasi "memaklumi dan memahami" yang sifatnya hanya verbal.
Pdt FU juga menegaskan prinsip memberi telah di hancurkan oleh sikap korupsi yaitu merampas. Merampas rasa keadilan, mengkorup kebenaran, Sehingga rakyat menjadi sengsara dan menderita.
"Seekor anjing akan menyalak jika pencuri menjarah rumah yang dijaganya. Saya adalah seorang pengecut jika melihat koruptor menjarah keadilan dan kebenaran tetapi tetap diam saja." Inilah prinsip yang dipegang Pdt. FU.
Dalam menegakkan keadilan,dalam pandangan Pdt Fu Setiap kejadian ketidakadilan muncul, pemerintah hanya mengatakan sudah melakukan sesuatu dan diminta masyarakat memahami bahwa persoalan yang terjadi sedang dalam penanganan dan para korban diminta untuk menunggu penyelesaiannya.
"Bentuk komunikasi pemerintah selama ini ya seperti itu... lalu artinya apa?" tanya Fu.
Komunikasi “giving” adalah memberi. Memberi adalah tindakan melayani rakyat. Tetapi Musik dari istana negara dan gedung DPR/MPR kita yang terus berbicara tentang melayani rakyat namun faktanya angka kemiskinan meningkat, perkara ketidakadilan bertambah, ketidakdamaian menghinggapi hati, konflik horizontal terjadi , intimidasi kelompok tertentu tak terjamah hukum , itu sama saja pemerintah memutar musik pembiaran.
Pdt. Fu sangat berharap, pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kala tidak melakukan komunikasi pembiaran atas ketidakadilan yang ada seperti banyak peristiwa yang sudah terjadi.
Ditambahkannya, kebijaksanaan revolusi mental adalah mengerti bahwa ,"Rakyat yang menderita tidak membutuhkan wacana dan rencana, rakyat membutuhkan pendengar dan pelaksana.