Tribunnews.com, Jakarta - Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi mengatakan, pembebasan bersyarat yang diberikan Kementerian Hukum dan HAM kepada terpidana kasus suap Bupati Buol, Hartati Murdaya, tidak menunjukkan upaya pemberantasan korupsi seperti yang digaungkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam pidato kenegaraannya pada 15 Agustus 2014, SBY mengklaim akan menjadi yang terdepan dalam memberantas korupsi.
"Pemberian PB ini tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang sudah digaungkan Presiden SBY," ujar Johan melalui pesan singkat, Senin (1/9/2014).
Johan mengatakan, KPK tidak memberikan rekomendasi atas pemberian pembebasan bersyarat kepada Hartati. Ia menambahkan, justru KPK telah mengirim surat kepada Kemenkumham untuk menolak pembebasan bersyarat tersebut.
"KPK sudah mengirim surat menolak dan tidak memberikan rekomendasi itu," kata Johan.
Kendati demikian, kata Johan, pemberian pembebasan bersyarat kepada Hartati sepenuhnya merupakan kebijakan Kemenkumham sesuai peraturan yang dimiliki instansi tersebut.
"Kewenangannya ada di Kumham soal itu," kata Johan.
Seperti diberitakan, Kemenkumham dalam siaran persnya memastikan pemberian pembebasan bersyarat sudah sesuai prosedur. Sejak 23 Juli 2014, Hartati telah menjalani 2/3 masa pidana dan tidak pernah mendapatkan remisi.
Pemberian pembebasan bersyarat ini telah melalui sidang tim pengamat pemasyarakatan, baik tingkat UPT (Rutan Pondok Bambu), tingkat wilayah (Kanwil Kemenkumham DKI Jakarta), maupun pusat (Ditjen Pas).
Hartati adalah Direktur Utama PT Hardaya Inti Plantation dan PT PT Cipta Cakra Murdaya. Dia tersangkut perkara pemberian suap senilai Rp 3 miliar kepada Bupati Buol Amran Batalipu terkait kepengurusan izin usaha perkebunan. Hartati mulai ditahan 12 September 2012.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan penjara pada 4 Februari 2013.