News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Nunun Nurbaeti Tulis Surat untuk SBY dan Jokowi

Editor: Rendy Sadikin
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda S Goeltom (kanan), bersalaman dengan saksi Nunun Nurbaetie (kiri), dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (3/9/2012). Miranda diduga terlibat dalam kasus dugaan penyuapan anggota DPR RI periode 1999-2004 dengan cek pelawat, dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan terpidana kasus suap, Nunun Nurbaeti, membuat surat terbuka untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden terpilih Joko Widodo.

Nunun adalah mantan terpidana kasus suap sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat 1999-2004 terkait pemenangan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia 2004.

Dalam surat terbukanya, Nunun menyatakan merasa diperlakukan tidak adil atas keberadaan PP no. 99 Tahun 2012 tentang Pengetatan Pemberian Hak Remisi, Asimilasi dan Bebas Bersyarat kepada narapidana kasus terorisme, narkotika, korupsi, dan kejahatan HAM berat serta kejahatan transaksional terorganisasi. PP tersebut dianggap tebang pilih dan menimbulkan diksriminasi terhadap narapidana.

Surat terbuka itu disampaikan Nunun melalui pengacaranya, Ina Rachman.

"Memberi masukan kepada Presiden SBY serta presiden terpilih Joko Widodo agar di masa yang akan datang tidak mudah untuk membuat suatu peraturan yang dapat menimbukan katidakadilan dalam penerapan suatu hukum yang dapat menyakitkan hati orang yang merasakannya," demikian sepenggal surat terbuka Nunun yang dibacakan kuasa hukumnya, Ina Rachman, saat menggelar jumpa pers di sebuah rumah makan di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (2/9/2014).

Salah satu contoh ketidakadilan itu, kata Ina, dengan diberikannya pembebasan bersyarat kepada terpidana kasus suap Bupati Buol, Siti Hartati Murdaya. Hartati hanya menjalani hukuman selama 1 tahun 10 bulan, dari putusan pidana penjara selama 2 tahun 8 bulan.

Sementara, Nunun yang juga divonis karena kasus penyuapan, harus menjalani masa hukuman penuh selama 2 tahun 6 bulan.

Selain itu, lanjut Ina, disebutkan bahwa PP No. 99 Tahun 2012, diberlakukan bagi narapidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) setelah 12 November 2012.

"Jika memperhatikan waktu inkracht keduanya, maka Nunun yang inkracht pada 21 November 2013 dan Hartati yang inkracht pada 24 April 2013 terkena PP 99 tahun 2012," kata Ina.

Ina mengatakan, Nunun juga seharusnya mendapatkan hak yang sama ketika alasan pemberian pembebasan bersyarat bagi Hartati karena yang bersangkutan telah menjalani 2/3 masa tahanan dan membayar denda sebesar Rp 150 juta. Menurut dia, Nunun juga telah melakukan hal yang sama.

"Dari gambaran tersebut di atas, secara jelas ada perbedaan atau diskriminasi dalam penerapan hukum," ujar Ina.

Melalui surat terbukanya tersebut, Nunun meminta kepada SBY mau pun Jokowi untuk mencabut PP No. 99 Tahun 2012 karena banyak menimbulkan salah tafsir di antara para penegak hukum. Salah tafsir yang dimaksud di antaranya tentang pengertian saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), mau pun subyektifitas dalam pemberian rekomendasi dari para penyidik Polri.

"Tidak usah merasa bersalah untuk mencabut kembali PP No.99 Tahun 2012 yang penuh ketidakadilan itu," ujar Ina saat membacakan lanjutan surat terbuka Nunun.

Nunun telah menyelesaikan masa hukuman 2,5 tahun penjara dan bebas pada pertengahan Juni 2014 lalu.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini