TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di Bumimoro, Jawa Timur, 1951, Presiden Soekarno pernah berucap, "Usahakan agar kita menjadi pelaut kembali. Ya...bangsa pelaut dalam arti seluas-luasnya. Bukan sekadar menjadi jongos di kapal...bukan! Tapi bangsa pelaut dalam arti cakrawati samudra. Bangsa pelaut yang memiliki armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut menandingi irama gelombang lautan itu sendiri."
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer tak kalah perhatian dengan timbul tenggelamnya kerajaan di nusantara, khususnya Jawa. "Kehancuran kerjaan di Nusantara, khususnya di Jawa karena singgasana rajanya dialihkan dari laut," Pram mengingatkan.
Mantan Kalakhar Bakorkamla RI Laksdya TNI (Purn) Djoko Sumaryono mengatakan Nusantara pernah berjaya dengan armada lautnya. Tengok saja Sriwijaya (684-1377) dan Majapahit (1251-1459). Kerajaan setelahnya mengubah haluan kekuatan bukan di laut.
Indonesia pernah mengembalikan kekuatan lautnya era Soekarno. Setelah di bawah penjajahan, mental negara maritim diubah menjadi negara pedalaman yang terpuruk dalam nalar mistik. "Inilah era pembodohan yang tak ingin kita maju sebagai bangsa maritim," ujar Djoko.
Soekarno sadar potensi maritim sangat besar sehingga pada 1960 dibentuk Dewan Maritim saat pembentukan Kabinet Dwikora. Ada juga Kemenko Bidang Maritim, di bawahnya Menteri Perhubungan, Menteri Perikanan dan Pengolahan Laut, dan Menteri Perindustrian Maritim.
Kemenko Maritim yang digagas Soekarno tak berjejak memasuki Orde Baru. Di bawah Soeharto mementingkan pembangunan berbasis agraris. Sehingga Kemenko Maritim dihapus.
Setelah amanat Soekarno diucapkan di Bumimoro, Perdana Menteri Djuanda mencanangkan Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957, dan deklarasi tersebut diterima masyarakat maritim dunia melalui sidang Unclos pada 1982.
Menurut Djoko, hampir setiap pemerintahan republik ini memiliki kesadaran soal maritim dengan kadar berbeda. Presiden Soeharto meski mengembalikan keunggulan maritim dan menomorsatukan kekuatan darat, membentuk Bakorkamla 1972.
Era Presiden BJ Habibie ada Deklarasi Bunaken, Presiden Gus Dur menghadirkan Kementerian Kelautan, Presiden Megawati mencanangkan Hari Nusantara, Presiden SBY menguatkan Bakorkamla pada 2005, dan era Jokowi menggagas Indonesia poros maritim dunia.
Djoko membagi poros maritim dunia ke dalam dan ke luar. Ke dalam adalah pembangunan tol laut untuk mempercepat dan memeratakan pembangunan. Sedang ke luar adalah menunjukkan keunggulan komparatif untuk meraih kemakmuran bangsa.
Indonesia memiliki keunggulan komparatif dari segi ekonomi di laut. Tengok saja posisi Indonesia yang memiliki geografi posisi silang karena diuntungkan dengan adanya selat terpadat jalur logistik.
"Tapi masih ada potensi untuk dikembangkan. Wilayah barat ada Sabang, Batam, Natuna, Serutu, Karimun Jawa. Sedangkan wilayah timur ada Bitung, Morotai, Lombok dan Bali," terang pria yang menjabat Sekjen Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut itu.
Di luar keunggulan, Indonesia juga memiliki kelemahan ekonomi: pembangunan tidak merata karena terpusat di Jawa, banyak daerah terisolasi secara ekonomi, pulau-pulau terpisah laut tidak didukung transportasi logistik yang handal. Ditambah banyak instansi yang berwenang di laut sehingga terjadi tumpang tindih kepentingan.
Indonesia boleh unggul dalam politik luar negeri di kawasan ASEAN. Tapi kelemahan dalam politik hukum dan keamanan laut cukup tinggi. Sebut saha kasus perompakan di laut, khususnya di Selat Malaka merujuk data Bakorkamla sangat fluktuatif.
Pada 2011 ada 18 kasus, 2012 ada 22 kasus, 2013 ada 15 kasus dan 2014 ada 11 kasus (sampai Juni). Kelemahan ini di antaranya karena lemahnya prasarana pendukung kedaulatan Indonesia di perairan atau selat internasional. Juga deteksi dini di Samudra Hindia (sebelah timur Sumatera dan selatan Jawa).
Pemerintahan Jokowi-JK ke depan setidaknya memiliki banyak pekerjaan rumah untuk mengembalikan Indonesia berjaya di laut. Apalagi selama ini Jokowi-JK menganut doktrin Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Sekian pekerjaan rumah itu di antaranya soal tata kelola. Karena selama ini belum ada UU Kelautan atau kebijakan pembangunan di laut, tidak ada kelembagaan yang mengawasi pembangunan aspek maritim dan belum terbentuknya coas guard atau Bakamla.
Tulisan ini disarikan dari presentasi mantan Kalakhar Bakorkamla RI, Laksdya TNI (Purn) Djoko Sumaryono saat memberi pengarahan kepada peserta Forum Discussion Group (FDG) Bakorkamla di Hotel Harmoni, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (10/9/2014).