TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi demonstrasi dilakukan kelompok massa yang menamakan diri Aliansi Garda Nusantara Peduli Lingkungan (AGNPL) dan Penyelamat Hutan Kalimantan di depan kantor Kementerian Lingkungan Hidup, di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, Kamis (18/9/2014).
Aksi mereka untuk menolak aktivitas sejumlah perusahaan tambang batubara di antaranya PT Bara Multi Sukses Sarana Tbk dan perusahaan raksasa asal India Tata Group Tbk yang mereka tengarai merusak lingkungan hidup.
Mereka menyebut, operasional tambang batubara di kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan itu berdampak pada terancamnya ekosistem dan habitat monyet hidung panjang (Bekantan).
“Selamatkan lingkungan dan lestarikan hutan Kalimantan, hentikan aktivitas penambangan yang merusak ekosistem dan habitat monyet hidung panjang di kabupaten Tapin Selatan, Kalimantan Selatan!” kata Koordinator massa yang juga Ketua Umum Garda Nusantara Peduli Hutan Kalimantan, Arie Tarigan dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com seusai aksi.
Menurut Arie, hutan bagi masyarakat Indonesia adalah sumber kehidupan bagi kelangsungan hidup manusia dan pelestarian ekosistem yang ada di dalamnya. Indonesia termasuk negara ketiga pemilik hutan tropis terbesar setelah hutan amazon di Brazil dan Congobazin di RDC dan Kamerun.
“Ancaman kerusakan hutan dan lingkungan semakin besar di Indonesia! Ini karena adanya kebijakan liar indrustri pertambangan dalam mengeksplorasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab,” tegasnya.
Selain itu dijelaskannya masyarakat dan hutan Kalimantan sedang terancam mengalami kemerosotan oleh aktivitas proyek-proyek, pembangunan sumber daya yang menggunakan tanah dan kawasan luas, bercorak ektraktif dan eksploitatif serta tidak berpihak kepada masyarakat.
"Proyek-proyek pembalakan kayu, perkebunan, pertambangan dan sebagainya, hanya menguntungkan segelintir pemilik modal," katanya.
Disebutkan, proyek Kanal Penampungan Bara Multi dan Tata Group dan jalur lalu lintas batu bara berada di areal 6 Hektare di desa Tarakan, Kecamatan Tambrangan, Kabupaten Tapin Selatan, Kalimantan Selatan yang mulai beroperasi sejak tahun 2008, digunakan sebagai transit batubara PT Antang Gunung Meratus (AGM).
Keberadaan Kanal Penampungan Bara Multi dan Tata Group tersebut, kata Arie, memiliki rangkaian potensi kerusakan, di antaranya kerusakan sistem perairan, kesehatan masyarakat, hancurnya keanekaragaman hayati, dan kian terancamnya eksositemnya seperti Bekantan yang saat ini kondisinya terancam kepunahan.
"Kerusakan dan pencemaran lingkungan, kemiskinan semakin meningkat, rusaknya tata nilai masyarakat adat. Dari segi kebijakan, Pemerintahan Kabupaten Tapin Selatan terkesan menutup mata atas persoalan tersebut dengan sengaja mengeluarkan izin dalam Keputusan Bupati Nomor 188.45/132/KUM/2012 tentang Izin Operasional dan Keputusan Bupati Nomor 188.45/131/KUM/2012 tentang Izin Pengelolaan Jalan Khusus Angkutan Batubara kepada AGM," kata Arie.
Selain itu, katanya, diperkuat dengan Keputusan Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi Informatika Nomor 551.31/111/Dishubkominfo/2012 tentang Pemberian Izin Pengelolaan Pemanfaatan Sungai Puting dan Sungai Muning untuk angkutan transportasi kepada AGM.
“Persoalan kebijakan Pemerintah Kabupaten Tapin Selatan yang mudah memberikan izin kepada Pemberi Modal sejatinya bertentangan dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan. Hal itu sejalan dengan maraknya Investor Asing masuk ke Kalimantan akibat buruknya mental Pemerintah yang mudah memberikan izin Investor masuk tanpa melihat rekam jejak Investor, asal perusahaan, kepemilikan Saham, dan dampak lingkungan serta sosial yang ditimbulkan setelahnya,” beber Arie.
Selain itu, massa aksi juga berdemonstrasi di kantor Kementerian Perhubungan mendesak agar Dirut PT Baramulti Tbk dipanggil untuk segera diperiksa. Belum ada tanggapan dari pihak terkait atas tuntutan dari aksi massa ini.
“Kami sudah diterima oleh Kasubdit Kekuatan dan Perhubungan Kementerian Perhubungan terkait masalah ini. Kami sampaikan, berbagai kondisi nyata yang menyebabkan masyarakat di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan terus terbenam dalam penderitaan,” ujar Arie.