TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aksi penentangan berbagai elemen kemasyarakatan terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Pilkada melalui DPRD terus membesar. Menurut rencana, 25 September besok, DPR akan menentukan kelangsungan proses pengesahan RUU yang menuai kontroversi.
PDIP bersama PKB dan Hanura serta belakangan Demokrat mendukung pelaksaan pilkada tetap melalui mekanisme langsung. Sebaliknya Koalisi Merah Putih yang dimotori Gerindra terus "ngotot" menghendaki pilkada melalui DPRD.
Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi berpendapat saatnya pemerintah mengambil langkah bijak dan mencegah polarisasi yang demikian tajam di masyarakat soal pilkada diserahkan ke DPRD atau tetap berlangsung melalui mekanisme pemilihan langsung seperti selama ini.
Karena itu menurut Ari, Wakil Presiden Boediono selaku presiden ad interim hendaknya menggunakan kewenangannya untuk menarik peran pemerintah dalam pembahasan RUU Pilkada.
Apalagi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu presiden dan ketua umum Partai Demokrat telah tegas menyatakan sikapnya untuk tetap mempertahankan pilkada langsung tetapi dengan sejumlah perbaikan.
"Jika Boediono mau dan ingin namanya tercatat dalam sejarah bangsa, harus mengambil alih peran SBY apalagi undang-undang telah mengamanatkan fungsinya sebagai presiden ad interim mengingat SBY tengah melakukan muhibah ke mancanegara. Jika pemerintah menarik diri dari pembahasan RUU Pilkada, maka secara konstruksi politis, sosial dan juridis, gagasan pemaksaan kehendak menggelar pilkada melalui DPRD bisa digagalkan," ungkap Ari Junaedi, kepada Tribunnews.com, Jakarta, Rabu (24/9/2014).
Menurut pengajar Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) ini, kepergian Presiden SBY yang bertepatan dengan pelaksanaan rapat paripurna DPR tentang RUU Pilkada membawa implikasi terjadinya insubordinasi antara menteri dalam negeri yang terkesan "mendukung" pelaksanaan pilkada melalui DPRD dengan sikap Presiden SBY yang menolak pilkada versi koalisi Merah Putih.
"Jika Boedino tidak memanfaatkan momentum ini, maka sejarah mencatat sikap pemerintah tidak utuh dan bulat terhadap pelaksanaan pilkada yang menekankan pada partisipasi publik seluas-luasnya dan demokratis. Demokratisasi dikhawatirkan akan dibajak oleh segelintir elit yang memiliki syahwat kekuasaan yang tidak terhingga dan elit birokrasi yang tidak punya sikap," kata Ari Junaedi yang juga pengajar S2 di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini.