TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak ada guna Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau Pemerintah mengajukan uji materi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah ke Mahkamah Konstitusi. Pemerintah tak memiliki legal standing atas undang-undang yang dibuatnya sendiri.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie menjelaskan cukup masyarakat, LSM, akademisi saja yang mengajukan uji materi UU Pilkada. Sehingga Pemerintah tak perlu repot mengajukan karena sudah ikut membahas UU tersebut bersama DPR.
Pemerintah atau presiden bisa saja tidak menandatangani undang-undang yang baru disahkan tersebut. Di Indonesia, sudah ada lima undang-undang yang tidak ditandatangani oleh presiden. Salah satunya adalah Undang-Undang Penyiaran.
Saran Jimly, ada dua cara yang bisa ditempuh. Pertama ada dua cara yang bisa dilakukan presiden yakni mengkritik UU tersebut. Artinya, presiden menandatangani UU Pilkada dengan catatan-catatan. "Presiden boleh mengritik undang-undang," ujar Jimly di Jakarta, Selasa (30/9/2014).
Atau, Presiden SBY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat bisa menginstruksikan kadernya di DPR mengubah UU itu melalui legislatif review. "Partai Demokrat di DPR bisa mengambil inisiatif mencabut atau mengubah kembali Undang-Undang Pilkada itu," saran Jimly.
Cara kedua, dengan mengefektifkan upaya judicial review di MK. Jimly menyarankan, para pihak yang mengajukan judicial review atau uji materi UU Pilkada harus memperkuat argemen-argumennya. Bukan hanya melalui materi tapi juga menguji formil UU.
Pengujian formil UU Pilkada meliputi prosedur pembentukan, prosedur pengesahan, bahkan format undang-undangan itu.
"Maka, para pemohon judicial review harus jeli. Jangan hanya menguji secara materil tapi uji formilnya juga," papar mantan Ketua MK itu.
Dua Jurus Penangkal UU Pilkada Versi Jimly Asshiddiqie
X
Editor: Y Gustaman
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger