TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sudah hampir satu tahun, penyidikan kasus dugaan korupsi pembangunan T-Tower milik Bank Jawa Barat Banten (BJB) tidak kunjung ada perkembangan.
Belakangan, penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menggaungkan dan meneruskan penyidikan kasus yang diduga merugikan negara senilai Rp 200 miliar tersebut.
Dalam kasus ini, penyidik telah menetapkan dua tersangka yakni Kepala Divisi Umum BJB Wawan Indrawan dan Direktur PT Comradindo Lintasnusa Perkasa Tri Wiyaksa.
Meskipun sudah berstatus tersangka, namun hingga saat ini, keduanya tak kunjung ditahan bahkan tidak dicekal. Dalam perkembangan penyidikan, penyidik memanggil saksi bernama Editiawarman.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapus Penkum) Kejagung, Tony T Spontana mengatakan Editiawarman adalah Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor Badan Pertanahan Jakarta Selatan.
"Saat dijadwalkan diperiksa, saksi ( Editiawarman) tidak hadir memenuhi panggilan penyidik tanpa ada keterangan," kata Tony, Rabu (19/11/2014) di Kejagung Jakarta.
Tony melanjutkan beberapa waktu lalu, penyidik juga mengagendakan pemeriksaan terhadap kedua tersangka dalam kasus ini. Namun satu tersangka yaitu Direktur PT Comradindo Lintasnusa Perkasa Tri Wiyaksa tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
Lebih lanjut, Kepala Sub Direktorat Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung Sarjono Turin menjelaskan tim penyidik telah melengkapi berkas perkara kedua tersangka tersebut dan saat ini sudah tahap I.
Terakhir pejabat Pemprov DKI yang diperiksa untuk kasus ini ialah Heru Hermanto, Kepala Bidang Perizinan Dinas Pengawasan dan Penertiban (P2B) Provinsi DKI Jakarta. Heru diperiksa terkait proses izin rencana pendirian bangunan T-Tower Bank BJB.
Untuk diketahui, kasus ini bermula saat Bank BJB berniat membeli gedung untuk kantor cabang khusus di Jakarta pada 2006. Bank Indonesia menyetujui pengadaan kantor tersebut dan mengucurkan dana sebesar Rp200 miliar.
Kemudian Bank BJB membeli 14 lantai dari total 27 lantai gedung T-Tower yang akan dibangun di Jalan Gatot Subroto kaveling 93, Jakarta Selatan.
Namun, pembelian itu tidak jelas, tanah yang hendak dipakai untuk pembangunan gedung T-Tower diduga milik perusahaan lain. Akibatnya negara diperkirakan mengalami kerugian senilai Rp200 miliar.