TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Keputusan pengganti pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas yang masa jabatannya berakhir pada 10 Desember berada di tangan DPR. Tapi, DPR belum juga mengambil keputusan.
Perseteruan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR diyakini punya andil dalam terhambatnya pemilihan pimpinan KPK.
Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai masalah ini mulai berdampak pada hal di luar DPR. Termasuk dalam menentukan pimpinan KPK. Bahkan, KPK bisa menjadi korban ketidakjelasan sikap politik para politikus senayan.
"DPR ini punya PR dan sampai sekarang nggak selesai. KPK ini hanya jadi korban," kata Peneliti Hukum Indonesian Corruption Wacth (ICW) Lalola Easter, di kantornya, Minggu (30/11/2014).
Lalola menjelaskan, berdasarkan Pasal 30 ayat 10 UU No 30 tahun 2002 tentang KPK menyatakan, DPR wajib memilih dan menetapkan pimpinan KPK dalam waktu paling lama 3 bulan sejak presiden menyerahkan calon.
Hal ini jelas menggugurkan alasan DPR yang ingin dilibatkan dalam proses seleksi sejak awal. "Apalagi, sekarang calonnya hanya 2. DPR bisa saja dengan mudah memilih karena seleksi sudah dilakukan oleh panitia seleksi," lanjutnya.
Ditempat yang sama Peniliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan, dualisme yang belum terselesaikan tentu dapat menimbulkan perdebatan panjang.
Bisa saja, saat KMP memutuskan pimpinan KPK, hal itu disebut tidak legitimated sebab hanya sepihak dan tidak melibatkan KIH.
Tapi tidak menutup kemungkinan, hal ini memang sengaja dilakukan DPR untuk melemahkan KPK. Bisa saja, sebenarnya tidak ada apa-apa dengan KMP dan KIH. Perseteruan ini hanya kedok untuk menghambat kerja KPK.
"KPK jadi korban politik DPR. Bisa saja KMP dan KIH tidak berseteru hanya ingin menghambat saja," kata Miko.