TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata, Algooth Putranto, menilai kecelakaan pesawat Air Asia bisa menjadi batu pijakan bagi Indonesia dalam memulai tradisi penegakan keselamatan transportasi.
“Marah tak menyelesaikan masalah. Di negara lain, sebuah kecelakaan pesawat atau kapal laut adalah hal serius, dan tidak menjadi bagian pertunjukan dengan pejabat yang marah di depan umum karena adanya kecelakaan itu bagian ketidakbecusan pemerintah," ujarnya kepada Tribunnews.com, Sabtu (3/1/2015).
Bahkan, lanjut Algooth, di negara lain kejadian kecelakaan besar menjadi alasan pejabat undur diri.
Itu pesan yang sangat tegas bahwa keselamatan adalah nomor satu. Di sini, kecelakaan dianggap sebagai nasib dan tidak menghasilkan perbaikan.
Algooth mencontohkan Perdana Menteri Korea Selatan, Chung Hong-won, memilih mengundurkan diri pasca-kecelakaan kapal Sewol yang menewaskan banyak orang.
"Dalam teori komunikasi, marah bisa diartikan sebagai sikap defensif menutupi kesalahan. Soal adanya pelanggaran yang dilakukan AirAsia, silahkan diselesaikan dengan tegas kalau perlu cabut ijin lalu pecat pemberi izin maskapai yang melanggar tersebut. Tak perlu marah-marah di depan media," ujarnya.
Algooth mencatat, selama ini di Indonesia pejabat yang bertanggung jawab atas transportasi bisa tenang menikmati posisinya.
Sejumlah kecelakaan besar pesawat dan kapal tidak cukup untuk menjadi alasan mereka untuk mundur atau dicopot dari posisinya.
“Coba diingat tragedi Lion di Solo, Mandala di Medan, Adam Air di Makassar, Garuda di Jogja, kapal Livina dan Teduh bahkan tragedi kecelakaan kereta api Bintaro yang tak berpengaruh pada posisi pejabat. Kita tunggu apa Menteri Jonan cukup bernyali merevolusi kementerian. Tidak hanya marah-marah,” ujarnya.