TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Advokat muda dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Vanroy Pakpahan menilai keliru Surat Edaran MA (SEMA) nomor 7 tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali (PK) kalau dikaitkan dengan eksekusi hukuman. Eksekusi pidana mati bagi narapidana kasus narkotika kelas berat misalnya.
"PK itu upaya hukum luar biasa. Jadi dalam KUHAP cukup jelas dikatakan PK tidak menghalangi eksekusi. Dalam Pasal 268 ayat 1 disebutkan PK atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut (putusan pengadilan tingkat pertama hingga tingkat kasasi di MA). Lalu juga ada Pasal 66 ayat (2) UUMA," kata Roy saat berbincang dengan Tribun, Minggu (4/1/2014).
Karena itu, kata Roy, tidak ada alasan bagi jaksa untuk tidak langsung mengeksekusi putusan. Justru munculnya SEMA 7/2014 yang diklaim sebagai kepastian hukum atas PK, tegas Roy, menimbulkan polemik baru.
"Jadi itu enggak bisa dijadiin alasan pembenar oleh MA untuk kemudian ngeluarin SEMA yang baru (bila PK berulang-ulang bisa ngehalangin eksekusi itu). Padahal kepastian hukum kan sudah ada begitu MA ngeluarin keputusan di tingkat kasasi. Tinggal dieksekusi," ujarnya seraya mengkritik lambanya eksekutor putusan di Indonesia.
Meski demikian, Roy mengakui MA memiliki hak dalam mengeluarkan surat edaran. Tetapi tegas dia, SEMA itu sifatnya administrasi, bukan produk hukum.
"Harusnya biar saja MA ngeluarin SEMA, tapi Jaksa harus tetap berpedoman sama Putusan MK dan KUHAP. Namanya SEMA itukan bentuknya imbauan, bukan sebuah produk hukum. Bisa bahaya kalau dijadiin pedoman bagi penegak hukum. Biarlah itu jadi pedoman buat mereka yang masuk lingkup MA. Kejaksaan kan bukan termasuk lingkup MA," imbuhnya.