"Salah satu contoh tentang syarat 'bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa'. Syarat ini paling sering diabaikan bahkan dianggap tidak penting. Pencantuman syarat ini dalam sejumlah undang-undang terkesan hanya lips service, simbolik dan pemanis belaka, tak sungguhan mengoperasionalkannya dalam pengujian syarat calon," ujarnya.
Menurutnya, ini tidak pernah digali dan dikembangkan secara cermat, apa ukuran bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa itu? Lalu apa juga indikator yang menjadi alat ukur jelas untuk mengukur ketaqwaan seorang calon kepala daerah/wakil kepala daerah?
Kemudian siapa pula yang harus mengukurnya, jika menurut ukuran yang bisa dipertanggungjawabkan, seorang calon tidak memenuhi syarat ini lantas bagaimana nasibnya sebagai seorang calon, bisa diteruskan atau gugur?
"Hal ini penting untuk dipertimbangkan serius oleh semua pihak mengingat aspek religiusitas termasuk komponen sangat penting dalam kepribadian dan jiwa seseorang, apalagi bagi seorang pemimpin daerah," ujarnya.
Kedua, kata dia, soal uji publik. Menurutnya uji publik tetap diperlukan, namun hasil akhir dari uji publik haruslah jelas dan tegas. Harusnya, panitia uji publik tidak sekedar memberikan keterangan bahwa seorang calon kepala derah sudah mengikuti uji publik.
"Jika seperti ini formatnya, maka panitia uji publik sama saja dengan panitia seminar yang hanya mengeluarkan sertifikat untuk peserta tanpa pernah tahu apakah peserta itu lulus atau tidak," kata Yanuar.
Menurutnya, panitia uji publik harus diberi kewenangan untuk melakukan penilaian nyata atas individu calon menurut ukuran-ukuran yang jelas, terbuka, akurat dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, yuridis dan politis.
Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD) bisa dijadikan acuan oleh Panitia Uji Publik untuk mengukur dan menilai individu calon. Meskipun penilaian ini bukan keputusan final atas nasib seorang calon, namun uji publik yang “berbobot” akan sangat membantu partai politik menentukan pilihan yang tepat atas seorang bakal calon yang hendak dimajukan sebagai calon definitif.
Kediga adalah soal Indeks Kepemimpinan Daerah (IKD). Ini adalah kumpulan dari sejumlah kemampuan yang melekat pada diri seseorang sehingga dia layak disebut pemimpin.
"Pilkada secara langsung harus mampu menjamin munculnya pemimpin, bukan melegitimasi munculnya kaum oportunis, pekerja birokrasi dan pemburu harta," ujarnya.
Karena itu, kata Yanuar, diperlukan suatu ukuran atau parameter yang obyektif, valid, komprehensif, terukur dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis, filosofis, yuridis dan politis untuk menilai kemampuan kepemimpinan seseorang.
"Ini persoalan serius karena soal masa depan pembangunan dan kemakmuran di daerah. Jangan menyederhanakan soal
kepemimpinan daerah hanya sekedar soal politik dukung-mendukung dan kemampuan financial seorang calon," ujarnya. (Edwin Firdaus)