TRIBUNNEWS.COM - Setelah seratus hari bekerja, Menteri Perikanan dan Kelautan (MKP) Susi Pudjiastuti mengumpulkan seluruh staf pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di ballroom KKP, Gedung Mina Bahari III, Jumat (30/1) pekan lalu.
Dengan pidato penuh semangat dan berapi-api, Susi memaparkan evaluasi sejumlah pencapaian dan perubahan yang telah dicapai kepada para pegawai KKP yang mendengarkan penuh antusias.
Dalam evaluasi 100 hari yang dilakukan akhir pekan lalu itu, Susi mengaku mendapat ranking pertama sebagai menteri berprestasi dalam pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Menurut pemilik maskapai Susi Air tersebut, berkah kegigihannya bekerja, KKP telah dikenal oleh masyarakat luas.
Susi meminta agar prestasi yang telah ditorehkannya diikuti oleh seluruh pengawai di KKP. Ia mendorong mereka terus bekerja maksimal dalam memberikan pengabdian kepada bangsa.
Selama seratus hari pertama bekerja, Susi telah berhasil menangkap puluhan kapal illegal fishing di perairan Indonesia. Terakhir pada operasi yang digelar 21-25 Januari 2015, sebanyak 14 kapal ilegal ditangkap. Dimana tujuh kapal di antaranya milik asing dan tujuh lainnya adalah milik perikanan lokal yang menangkap ikan secara illegal.
Selain memberantas para pencuri ikan, Susi juga menerbitkan sejumlah kebijakan yang dinilai kontroversi dan ditolak sebagian kalangan. Pada bulan Desember 2014 lalu, Susi menerbitkan peraturan Nomor 57 Tahun 2014 yang melarang transhipment atawa bongkar muat ikan di tengah laut. Susi beralasan, ada banyak kapal ikan asing yang langsung membawa kabur ikan dari tengah laut tanpa melalui pelabuhan. Dengan dilarangnya transhipment, maka pemerintah dapat memantau dan mengontrol hasil tangkapan ikan di laut Indonesia dan pajaknya diterima negara.
Susi juga mengeluarkan kebijakan Permen No.1 tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawl) dan pukat tarik (Seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Kebijakan yang juga menyita banyak perhatian larangan ekspor bibit lobster, dan lobster bertelur yang dituangkan dalam Permen No.1 tahun 2015.
Dengan terbitnya kebijakan ini, Susi berharap kelestarian spesies ikan di luat Indonesia tetap bisa dijaga. Ia juga menuding mereka yang menggunakan bom saat menangkap ikan sebagai teroris lingkungan.
Susi berjanji tidak akan mencabut peraturan yang telah dikeluarkannya meskipun mendapat perlawanan dari sejumlah pihak. Ia malahan menuding, gerakan demonstrasi dan penolakan terhadap kebijakannya disokong oleh para pengusaha yang kepentingannya terganggu akibat kebijakan Susi. Susi mengatakan telah mengancam sejumlah kepala dinas yang menolak menerapkannya kebijakannya dengan mengevaluasi ulang dana alokasi khusus (DAK) di daerahnya.
Namun sejumlah kebijakan Susi mendapat sorotan dari pelaku usaha perikanan. Mereka mulai mengeluhkan kebijakan Susi yang memberatkan mereka. Sekjen Asosiasi Budidaya Ikan Laut Indonesia (Abilindo) Wajan Sudja menilai Susi tidak arif. Ia menilai kebijakan Susi yang melarang transhipmen telah merugikan pelaku usaha perikanan. Akibat kebijakan Susi, sejumlah buyer atau pembeli ikan dari luar negeri memilih berbelanja ke Malaysia dan Vietnam.
Padahal saat ini, lanjut Wajan, harga ikan lagi sedang tinggi-tingginya karena menjelang Imlek. "Dampak dari kebijakan itu, anggota Abilindo baru dapat menjual ikan budidaya setelah Imlek, dengan harga yang relatif rendah," ujarnya. Ia bilang akibat kebijakan itu, potensi kerugian yang dialami nelayan yang masuk dalam asosiasinya sebesar US$ 2,7 juta bila dihitung dari potensi penjualan 900 ton ikan.