TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) meminta KPU dan Bawaslu mengacu pada aturan hukum dalam menyikapi dualisme Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjelang pelaksanaan Pilkada serentak tahun depan.
Ketua DKPP Jimly Ashsiddiqy mengatakan, dalam menjalankan tugasnya KPU dan Bawaslu harus mengacu pada koridor hukum dan etika sebagai penyelenggara pemilu.
"KPU dan Bawaslu tetap bekerja sesuai koridor hukum. Mengenai kepengurusan parpol, rujukannya Kemenkumhm," kata Jimly saat menerima Ketua Umum DPP PPP M. Romahurmuziy, Jumat (6/2/2015).
Dalam kesempatan tersebut, Romahurmuziy didampingi Sekjen Aunur Rofiq dan 15 pengurus harian. Sementara Jimly Asshiddiqi didampingi Saut Hamonangan Sirait, Ida Budhiati, dan Endang Widhastuti.
Penegasan serupa disampaikan Ida Budhiati. Menurut dia, KPU tidak dalam kapasitas mengesahkan parpol karena itu wewenang Menkumham. Pihaknya hanya merujuk pada keputusan Menkumham. "KPU-Bawaslu bekerja dalam koridor hukum. Jadi yang menentukan sah tidaknya pengurus partai politik adalah Menkumham," tegas Ida.
Sementara itu, Romahurmuziy menyampaikan bahwa hingga saat ini tidak ada pencabutan SK Menkumham yang mengesahkan kepengurusan PPP hasil Muktamar VIII di Surabaya. Meskipun saat ini sedang digugat di PTUN, sepanjang belum ada keputusan inkrach, maka PPP hasil Muktamar Surabaya sah di mata hukum.
"Ini kami jelaskan agar tidak terjadi miss persepsi," ujar Romi, sapaan akrab Romahurmuziy.
Ketua DPP PPP Isa Muchsin menambahkan, persoalan internal PPP bermula dari persoalan etik-moral seorang ketua umum yang menjadi tersangka oleh KPK.
Menurut dia, seorang tersangka tidak pantas memimpin sebuah parpol Islam. "SDA itu tersangka saat menjadi menteri agama. seharusnya secara etika-moral mundur dari ketua umum PPP, tapi tidak mau. Itulah akar persoalannya," jelas Isa.