TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat Politik FISIP Universitas Airlangga, Haryadi menilai kecenderungan untuk mendorong Presiden Joko Widodo memisahkan diri dari Megawati Soekarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menguat. Hal itu sejalan dengan tak segera selesainya konflik KPK vs Polri.
"Dorongan itu terutama berasal dari figur atau faksi kelompok relawan pendukung Presiden yang karakternya memang anti-partai. Dalam khayalan mereka, kalaupun nanti partai diperlukan, maka akan dibentuk partai baru yang anasir utamanya adalah mereka," ujar Haryadi kepada wartawan, Kamis (12/2/2015).
Haryadi menuturkan, jika langkah itu di ambil Jokowi, mungkin saja Megawati dan PDIP akan sedikit merugi. Tetapi, kata dia, Megawati dan PDIP tetap akan eksis sebagai kekuatan politik besar. "Pondasi Megawati dan PDI Perjuangan sudah kokoh," tuturnya.
Menurut Haryadi, bagi Jokowi niscaya akan menjadi bunuh diri politik dan konyol. "Sebab, anti-partai berarti menentang semangat konstitusi yang mengharuskan pengembangan demokrasi Indonesia berpilar partai," katanya.
Selain itu, papar dia, Presiden Jokowi akan kehilangan basis kekuatan di parlemen. Menurut Haryadi, mungkin saja ada partai lain yang siap mendukungnya di Parlemen, tapi kepentingannya semu dan sesaat.
"Dengan begitu, pasti kinerja kekuasaan pemerintahan tidak akan efektif. Pada saat yang sama, memisahkan diri dari Megawati, maka Presiden Jokowi akan kehilangan patron ideologi nasionalisme-kewargaan," ujarnya.
Masih kata Haryadi, jika hal itu terjadi, maka Presiden Jokowi akan mudah dicap sebagai pengkhianat politik. Yang diperlukan Presiden Jokowi sekarang justru adalah menguatkan kembali jalinan komunikasi dan ikatan politiknya pada Megawati dan PDIP.
"Kecuali jika memang Presiden Jokowi ingin bunuh diri secara politik," tandasnya.