TRIBUNNEWS.COM - Calon Kepala Kepolisian Negara RI Komisaris Jenderal Badrodin Haiti menegaskan, ia akan memastikan Polri solid dan berkomitmen dalam bertugas demi kepentingan rakyat.
Terkait konflik Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, ia optimistis tiga pelaksana tugas pimpinan KPK yang ditunjuk Presiden Joko Widodo bisa memperbaiki pola komunikasi KPK dengan Polri.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Badrodin di rumah dinasnya di Jakarta, Kamis (19/2).
Apa langkah untuk memperbaiki sinergi dengan KPK?
Pertama, saya akan berkomunikasi dengan pimpinan baru KPK untuk mencari jalan keluar terkait persoalan hukum pimpinan KPK. Masalah ini bukan persoalan berat. Namun, untuk menyelesaikannya perlu persamaan pandangan antara Polri dan KPK. Kita tidak bisa saling ngotot.
Apa dampak kisruh tersebut terhadap Polri?
Secara keseluruhan tidak ada dampak besar di jajaran Polri ataupun di daerah. Konflik Polri dengan KPK hanya berpengaruh signifikan di Bareskrim Polri. Sejumlah kasus terhambat ditangani oleh penyidik karena mereka fokus menangani beberapa kasus yang menyangkut pimpinan KPK.
Kisruh KPK-Polri diduga menimbulkan polarisasi di Polri. Apa upaya untuk mengembalikan soliditas Polri?
Kami sudah melakukan berbagai upaya sejak awal gejolak tersebut. Saya telah mengumpulkan perwira menengah dan perwira tinggi, lalu kami juga bertemu dengan para kepala polda dan jajarannya. Pekan ini, kami juga telah mengadakan pertemuan dengan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) Polri. Semua pertemuan itu menghasilkan kesepakatan bersama untuk mendukung siapa pun Kepala Polri yang akan dicalonkan Presiden Joko Widodo.
Dengan demikian, dipastikan tidak ada polarisasi di Polri. Tidak ada pula kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan. Kami berkomitmen loyal pada tugas untuk kepentingan rakyat.
Bagaimana prioritas penanganan korupsi?
Tugas polisi tidak hanya menangani korupsi, ada terorisme, narkoba, kecelakaan lalu lintas, kejahatan jalanan, dan lain-lain. Namun, saya setuju pemberantasan korupsi diprioritaskan. Di Polri kini ada Direktorat Tindak Pidana Korupsi di Bareskrim. Direktorat itu akan diperkuat dengan menguatkan anggaran dan peralatan yang sejalan dengan penguatan target operasi. Namun, harus diingat, kewenangan penanganan korupsi antara Polri dan KPK berbeda.
Kami tidak berwenang menyadap, kecuali penyadapan itu dilakukan bagi pihak yang telah terbukti kasus korupsinya. Selain itu, kami juga terkendala izin, sebab tidak seperti KPK yang berwenang memeriksa pejabat negara, kami harus memegang izin (Presiden) terlebih dahulu untuk memeriksa menteri atau gubernur.
Apa prioritas lainnya?
Kami juga menggiatkan pemberantasan terorisme, penanganan narkoba, dan pencegahan kecelakaan lalu lintas. Prioritas terhadap kejahatan narkoba karena penyalahgunaan narkoba telah berdampak korban jiwa 43 orang per hari. Kecelakaan lalu lintas juga diprioritaskan, sebab 50-60 orang meninggal per hari.
Terkait terorisme, kami memprioritaskan upaya preventif untuk menangkap terduga teroris sebelum mereka beraksi.
Soal dugaan kepemilikan rekening gendut?
Saya telah menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 2013 kepada KPK. Laporan itu pun telah diverifikasi dengan dilakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen yang saya miliki. Silakan dicek di KPK. Kalau saya yang menjawab, terkesan saya membela diri.
Bagaimana pula dengan dugaan pelanggaran HAM terkait pelaksanaan hukuman mati Fabianus Tibo di Sulawesi Tengah pada 2007?
Silakan dibuktikan dugaan tersebut. Saat saya bertugas, Komnas HAM telah melakukan pengawasan terhadap saya dan tim, selain itu pasti ada pula aktivis HAM di sana (Sulteng). Silakan ditanyakan kepada mereka, apakah ada tindakan saya yang melanggar HAM atau tidak. (SAN/SON/MBA/HAM/ADP)