TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pelaksanaan eksekusi mati terhadap para gembong narkoba asal negara asing dalam Kasus 'Bali Nine' telah melahirkan antipati Australia dan Brasil terhadap Pemerintah Indonesia.
Akan tetapi pemerintah Indonesia tetap bersikukuh dan menolak segala bentuk intervensi berbagai pihak terkait hal ini.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi I Prananda Surya Paloh mengatakan, dirinya mendukung sepenuhnya sikap konsistensi pemerintah untuk tetap melaksanakan capital punishment (hukuman mati) ini dengan baik tanpa pandang bulu.
Seperti diketahui capital punishment dibuat dan dilaksanakan untuk melahirkan efek deterrent (pencegah) untuk mengurangi niat calon penjahat di Indonesia.
"Jika ada permintaan dari pihak manapun untuk membebaskan warganya dari hukuman mati di Indonesia, dapat ditampik dengan diplomasi yang santun. Termasuk jika cara negara lain itu sudah melakukan tekanan atau tidak mengindahkan kesantunan diplomasi, kita tidak bisa dan tidak akan pernah tunduk pada usaha intervensi kedaulatan negara kita," kata Prananda di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (25/2/2015).
Lebih lanjut politikus Partai NasDem ini menyebutkan, pemanggilan kembali Dubes Indonesia untuk Brazil Toto Riyanto akibat penolakan Presiden Brasil Dilma Rousseff sudah sangat tepat. Karena secara nyata ini merupakan bentuk penekanan Brazil terhadap Indonesia.
Begitu juga dengan langkah politik Presiden dan wakil Presiden RI yang akan meninjau ulang pembelian alutsista dari Brazil.
"Meskipun Super Tucano dan MLRS (Multiple Launcher Rocket System) Astros (Artillery SaTuration ROcket System) dari Brasil telah memenangkan kontrak militer kita, ada hal yang sangat mendasar di mana bangsa kita tidak bisa bergantung pada support system negara yang tidak menghargai kedaulatan kita," katanya.
Lebih lanjut menurutnya, support system Tucano dan Astros berpotensi dijadikan alat penekan bagi bebasnya penjahat penjahat asal Brazil yang dihukum di Indonesia. Dirinya mengatakan tak ingin hal itu terjadi.