TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menerima kepengurusan Golkar yang diketuai Agung Laksono sesuai putusan Mahkamah Partai.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, menilai Kubu Aburizal Bakrie tak perlu mengganggu kubu Agung Laksono.
"Harusnya kubu Ical itu enggak perlu ngotot. Ya sudah kalau memang mau naik banding ke Pengadilan, silakan. Tapi jangan ganggu kubunya Agung. Kenapa? Karena kalau diganggu akan merusak jaringan politik di Partai Golkar untuk maju pilkada," kata Ikrar di Hotel Sofyan, Minggu (22/3/2015).
Ia mengingatkan pendaftaran Pilkada dilakukan Juni 2015. Sedangkan pengadilan memakan waktu tiga bulan. "Hitungannya Juni baru akan selesai. Kan harus didaftarkan KPU juga. Apakah kemudian orang-orang daerah harus melepaskan kesempatan jadi kepala daerah? Makanya jangan heran orang-orang politik itu tidak ada loyalitas 100 persen," katanya.
Ikrar mengakui Golkar berbeda dengan PDIP. Suka atau tidak, Ikrar menyebut di PDIP masih ada sosok Megawati Soekarnoputri sebagai figur pemersatu. Sedangkan Golkar, ujarnya, hanyalah kumpulan elite yang merasa sama dan berhak maju sebagai pemimpin.
"Kan tidak ada lagi orang seperti Suhardiman dan Soeharto, yang bilang ini lho yang harus dilakukan. Kalau buat saya, Partai Golkar itu harus jadi partai modern. Mereka harus siap, bahwa kepemimpinan itu bisa berganti. Yang sekarang memimpin, empat menit kemudian bisa saja tidak lagi memimpin," tuturnya.
Ikrar pun menyarankan agar Ical mundur selangkah membangun kekuatan untuk menghadapi Munas 2016. "Kalau bisa jangan ada nama Aburizal Bakrie atau Agung Laksono dalam pemilihan nanti. Kalau itu mau regenerasi," kata Ikrar.