TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebelumnya, Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Anton Charliyan mengatakan ada pungutan tidak sah dalam kasus dugaan korupsi Payment Gateway yang melibatkan mantan Wamenkum HAM Denny Indrayana. Pungutan tidak sah itu sebesar Rp 605 juta.
Pernyataan itu dibantah oleh Denny melalui kuasa hukumnya, Heru Widodo, Selasa (24/3/2015) di Mabes Polri.
"Soal adanya pernyataan Rp 605 juta yang disebut sebagai pungli itu tidak tepat," ucap Heru.
Dijelaskan Heru, justru program pembayaran secara elektronik itu sendiri bertujuan untuk menghilangkan praktik pungli dan percaloan dalam pembuatan pasport.
Sehingga dengan adanya pembayaran secara elektronik, proses akan lebih cepat, akuntabel dan karenanya menghilangkan praktik pungli dan percaloan.
"Klien kami selalu bertindak tegas dalam upaya perbaikan pelayanan publik di lingkungan Kemenhum HAM, termask pembuatan paspor," tuturnya.
Heru melanjutkan, kalaupun benar maka dana Rp 605 juta itu adalah biaya resmi dalam transaksi perbankan yang ada dasar hukumnya, yaitu Rp 5 ribu untuk setiap transaksi pembuatan paspor. Dan bukan pungli.
"Karena pembayarannya atas persetujuan pemohon pembut paspor. Soal pembayaran paspor secra elektronik tersebut pembayaran itu tidak wajib dan merupakan pilihan pemohon sendiri," ujarnya.
Untuk diketahui, mantan Wamenkum HAM Denny Indrayana dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Andi Syamsul Bahri, Selasa (10/1/2015).
Dalam laporan LP/166/2015/Bareskrim, Denny dilaporkan atas dugaan korupsi saat masih menjabat sebagai Wamenkum.
Denny disangkakan pasal 2 jo pasal 3 UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Payment gateway, merupakan layanan jasa elektronik penerbitan paspor yang mulai diluncurkan Juli 2014.
Namun, belum lama diluncurkan, Kementerian Keuangan merespons layanan tersebut belum berizin. Layanan itu ada saat Denny Indrayana menjabat sebagai Wamenkum HAM.