News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Denny Indrayana Dipidanakan

Denny Bantah Tunjuk Langsung Dua Vendor

Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana (berbatik merah) didampingi kuasa hukumnya tiba di Bareskrim Mabes Polri untuk menjalani pemeriksaan, Jakarta, Jumat (27/3/2015). Denny yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri menjalani pemeriksaan oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Ditipikor) Bareskrim Polri terkait kasus dugaan korupsi pada pengadaan sistem payment gateway atau pembayaran secara elektronik pembuatan paspor. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, tersangka kasus dugaan korupsi 'payment gateway',  tidak menunjuk langsung dua vendor untuk mengoperasikan sistem pembayaran pembuatan paspor elektronik.

Kuasa hukum Denny, Defrizal Djamaris mengatakan, keberadaan dua vendor, yakni PT Nusa Inti Artha (Doku) dan PT Finnet Indonesia, sudah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

"Sesuai SK Kesekjenan tentang proyek ini, Denny sebagai pengarah. Beliau tidak pernah langsung menunjuk vendor, yang putuskan itu tim," ujar Defrizal saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (28/3/2015).

Defrizal mengatakan, kedua vendor tersebut memang dikenal memiliki sistem yang bagus terkait pembayaran via elektronik. Sebab, dua vendor itu terkait dengan seluruh bank swasta yang ada di Indonesia. Hal itu tentu akan mempermudah proses pembayaran.

"Yang punya teknologi payment gateway itu ya mereka. Bisa bayar multibank, multipayment, bisa electronic banking, kartu kredit," ujar dia.

Pernyataan bahwa Denny menunjuk langsung dua vendor dilontarkan Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Rikwanto.

"Dia merancang dan memiliki inisiatif untuk melibatkan dua vendor sistem itu," ujar Rikwanto, Kamis (26/3/2015) lalu.

Kedua vendor itu membuka satu rekening untuk menampung uang pembayaran pembuatan paspor.

Penyidik menganggap hal itu menyalahi aturan, sebab uang mengendap di rekening dua vendor terlebih dahulu, baru disetorkan ke bendahara Negara. Seharusnya, uang itu langsung ke kas Negara.

Penyidik, lanjut Rikwanto, masih menunggu hasil audit kerugian Negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Namun, penyidik sudah memperkirakan dugaan kerugian Negara atas kasus itu, yakni mencapai Rp 32.093.692.000. Selain itu, penyidik juga menduga adanya pungutan tidak sah sebesar Rp 605 juta dari sistem itu.

Denny pun dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.(Fabian Januarius Kuwado)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini