Oleh: Petrus Selestinus
Koordinator TPDI
TRIBUNNEWS.COM - Sikap segelintir elite PDIP yang masih tetap menuntut agar Presiden Jokowi melantik Komjen Pol. Budi Gunawan menjadi Kapolri, semakin menarik untuk diamati. Dilihat dari posisi politik sebagai Partai Politik pendukung Pemerintah, maka sikap PDIP tergolong aneh, karena mayoritas Parpol dalam Koalisi KIH mendukung sikap Presiden Jokowi yaitu membatalkan pencalonan Komjen Pol. Budi Gunawan dan menggantinya dengan Komjen Pol. Badroddin Haiti.
Anehnya PDIP justru masih tetap meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi untuk tetap melantik Komjen Pol. Budi Gunawan menjadi Kapolri, lantaran DPR-RI sudah memberikan persetujuan dan Komjen Pol. Budi Gunawan tidak lagi berstatus tersangka korupsi.
Sikap ngotot PDIP berdasarkan pada pasal 12 UU Kepolisian, dimana seorang Calon Kapolri sebelum diangkat oleh Presiden terlebih dahulu harus mendapat persetujuan DPR. Pertanyaannya apakah persetujuan DPR bagi pengangkatan seorang calon Kapolri mutlak diperlukan, jawabannya tidak mutlak, karena di dalam pasal 11 ayat (4) UU POLRI disebutkan bahwa dalam hal DPR tidak memberikan jawaban, maka calon ybs dianggap telah disetujui DPR.
Dengan demikian pengangkatan dan pemberhentian seorang Kapolri meskipun Presiden memerlukan persetujuan DPR (pasal 11 ayat (1) UU POLRI, namun persetujuan DPR tidaklah menjadi keharusan. Apalagi dalam kasus pencalonan Komjen Pol. Budi Gunawan, Presiden Jokowi tidak jadi mengangkat Komjen Pol. Budi Gunawan menjadi Kapolri, maka persetujuan DPR tidak diperlukan, karena persetujuan itu hanya diperlukan kalau untuk mengangkat dan/atau memberhentikan Kapolri.
Secara etik dan moral Presiden wajib memberikan penjelasan tentang alasan apa saja Presiden tidak jadi melantik seorang Calon Kapolri yang sudah mendapat persetujuan DPR.
Tentang status tersangka Komjen Pol. Budi Gunawan yang sudah dibatalkan oleh Hakim Sarpin dalam Praperadilan, DPR seharusnya memaknai bahwa proses hukum terhadap Komjen Pol Budi Gunawan belum berakhir dan putusan praperadilan bukanlah putusan bebas Pengadilan Pidana dalam kasus dugaan korupsi, mengingat penyidikan atas kasus dugaan korupsi Komjen Pol. Budi Gunawan masih dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung dan sewaktu-waktu KPK bisa ambilalih kembali.
Kembali kepada sikap PDIP yang secara buta tuli menuntut agar Presiden Jokowi tetap harus melantik Komjen Pol. Budi Gunawan meskipun hanya sehari menjadi Kapolri, kemudian dibatalkan lagi. Tuntutan ini sepintas masuk akal atas alasan karena sudah mendapat persetujuan DPR, akan tetapi kalau kita mencermati substansi masalahnya maka tuntutan PDIP ini menjadi kontraproduktif dan melawan akal sehat publik, karena pilihan sikap Presiden Jokowi membatalkan pencalonan Komjen Pol. Budi Gunawan selain sudah sejalan dengan aspirasi publik, juga Pemerintah berpendapat bahwa proses hukum atas Komjen Pol. Budi Gunawan masih berlangsung.
Dengan demikian maka sikap PDIP yang selalu menuntut bahkan mengancam Presiden Jokowi dengan senjata Hak Angket, harus dipandang sebagai sikap yang tidak berpijak kepada kepentingan umum dan tidak demi masa depan bangsa akan tetapi lebih kepada kepentingan pribadi dan kelompok yang bersifat opportunis.
Pengamat politik Nico Harjanto justru berpendapat bahwa sikap ngotot PDIP dalam kasus pencalonan Komjen Pol. Budi Gunawan sebetulnya hanya mencari deal-deal baru untuk mendapatkan tambahan jatah kursi Menteri jika terjadi reshufle kabinet. Jika penilaian Nico Harjanto ini benar maka kita patut sesalkan karena PDIP ternyata tidak taat kepada komitmen dalam KIH, PDIP telah mengkianati Partai Hanura, NasDem, PKB dan PPP, karena ke-4 Parpol dalam KIH ini tetap santun dan komit mendukung kebijakan Pemerintah tanpa embel-embel minta tambahan jatah kursi Menteri di Kabinet Kerja.
Sebagai pelopor dalam KIH dengan ikrar koalisi tanpa syarat jatah Menteri, maka sikap ngotot PDIP, sudah di luar akal sehat bahkan telah mengambil posisi sebagai partai oposisi terhadap kebijakan Presiden Jokowi, mengancam Presiden Jokowi dengan ancaman penggunaan Hak Angket soal pembatalan Komjen Pol. Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri.
Sikap rentan terhadap komitmen moral dan etika dalam politik sudah menjadi ciri khas PDIP dan Megawati Soekarnoputri atau menjadi sikap yang disebut paradoks politik, karena apa yang dipikirkan, diucapkan dan yang ditanamkan dakam hati, selalu berbeda dan bertentangan dengan apa yang dilakukan, sehingga pengamat politik J. Kristiadi dari CSIS, belum lama ini menyatakan bahwa sejarah terus berulang dan bisa menimpa PDIP kalau tidak berhasil menciptakan pemerintahan yang baik. Sejarah membuktikan bahawa PDIP pernah dua kali menang dalam pemilu, tetapi gagal menciptakan Pemerintahan yang baik atau digdaya kalau tidak berkuasa, sengsara kalau berkuasa.
Kalau PDIP dikatakan gagal membangun pemerintahan yang baik, bersih dan bebas dari KKN, meski pernah memenangkan pemilu sebanyak dua kali pemilu, (pemilu 1999 dan pemilu 2014) kita sepakat, karena banyak kader PDIP dipenjara akibat korupsi merajalela ketika Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden pada periode 2001-2004, akan tetapi pendapat bahwa PDIP digdaya ketika tidak berkuasa dan sengsara ketika berkuasa, ini adalah sebuah hipotesa yang salah dan perlu dibuktikan lebih lanjut.
Didgdaya ketika tidak berkuasa jelas tidak pernah terjadi, malah selama 10 tahun tidak berkuasa dan mengaku jadi opisisi di Parlemen, PDIP gagal membangun jaringan oposisi yang kuat, karena dalam waktu yang bersamaan Megawati Soekarnoputri dkk dihantui oleh rasa takut akan ancaman pengungkapan kasus-kasus korupsi yang terjadi selama Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden periode 2001-2004 (kasus BLBI, Travel Cheq dll.).
Sengsara ketika berkuasa juga tidak benar, karena disaat berkuasa justru banyak kader dan elit PDIP di legislatif dan eksekutif terlibat euphoria korupsi dan dipenjara, yang sengsara justru rakyat, terutama pendukung PDIP yang selalu menjadi korban gaya paradoks politik, janji/slogan kampanye ajaran trisakti Bung Karno, yang hanya digelorakan saat kampanye pilpres.
Sikap politik PDIP yang sangat rentan terhadap komitmen moral dan etika dalam politik, membuat Presiden Jokowi dan Kabinet Kerja-nya tidak nyaman mewujudkan visi Nawacitanya, maka demi menjamin jalannya pemerintahan yang stabil untuk 5 tahun ke depan, sebaiknya Partai Nasdem, Hanura, PKB dan PPP meninjau kembali keberadaan PDIP dalam KIH atau tinggalkan PDIP dan bangun kembali sebuah koalisi bersama minus PDIP.
Mengenai perlunya PDIP ditinggalkan dari KIH, hal tersebut mengingatkan kita ketika Munas Partai Hanura di Solo pada bulan Februari 2015 yang lalu, dimana di hadapan Presiden Jokowi dan para Pimpinan Koalisi KIH ( ada Megawati Soekarnoputri, Muhaimin Iskandar, Surya Palloh dll. dan dari KMP ada Anis Matta, Nurdin Halid, Akbar Tanjung dll., yang hadir sebagai undangan, Wiranto, Ketua Umum Partai Hanura dalam pidato pembukaan Munas menyampaikan fakta tentang berbagai konflik yang muncul diawal Pemerintahan Jokowi-JK, dimana terjadi konflik antar Lembaga Negara, antar Pimpinan Lembaga Negara, antara Pimpinan Parpol dan antar Fraksi-Fraksi di DPR-RI dan antar sesama warga masyarakat, merupakan kondisi real yang sangat mengancam keutuhan bangsa saat ini.
Oleh karena itu maka saatnya mari kita tinggalkan KIH dan KMP dan mari bersama-sama kita melebur diri dalam satu kolalisi besar yaitu "Koalisi Kebangsaan" demi "Merah Putih" menuju "Indonesia Hebat", dengan tetap kritis, mengontrol pemerintah dan kawal Pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi-JK sampai akhir masa 5 tahun kepemimpinan.
Demi masa depan bangsa yang lebih baik, gagasan Koalisi Kebangsaan ini sungguh ideal dan bisa diwujudkan, karena Koalisi Kebangsaan ini tidak akan meninggalkan daya kontrol dan kritis terhadap pemerintah, serta tetap mengawal secara bersama pemerintahan Kabinet Kerja Jokowi-JK.
Tentu pilihan ini menuntut sikap negarawan yang kuat dari setiap pimpinan Partai, termasuk harus mampu melepaskan ego masing-masing Partai demi mewujudkan satu Koalisi Besar sebagai rumah bersama yaitu "Koalisi Kebangsaan" demi tetap berkibar Merah Putih menuju Indonesia Yang Hebat sebagai cita-cita brsama.