Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Sekjen PPP versi Muktamar Surabaya, Qoyum Abdul Jabar, mengakui konflik internal di partainya telah berlangsung lama. Namun itu semua merupakan dinamika yang berkembang di PPP.
"Saya katakan akar permasalahan atau apa yang melatarbelakanginya, konflik di PPP itu adalah persoalan sudah agak lama," ungkap Abdul dalam diskusi di Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (13/4/2015).
Dinamika politik di PPP bermula pada Musyawarah Kerja Nasional di Lirboyo, Jawa Timur saat akan memetakan dukungan pada Pemilihan Presiden 2014. "Kita sudah mulai ingin petakan siapa yang akan kita dukung sebagai kandidat capres PPP," katanya.
Muncul saat itu dukungan untuk Jusuf Kalla, meski PPP belum memutuskan dukungan resmi dalam Pilpres 2014. Tapi dalam mukernas terdapat gesekan karena keinginan Ketua Umum PPP Suryadharma Ali maju dalam Pilpres 2014. Belakangan muncul dinamika politik di PPP yang memunculkan tujuh nama eksternal termasuk Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Gesekan kembali terjadi ketika peta politik mulai mengerucut menjadi dua nama yakni Prabowo Subianto dan Joko Widodo. PPP diharuskan memilih salah satunya. Lalu terjadi lah peristiwa di mana Suryadharma dan Djan Faridz menghadiri kampanye Gerindra yang mencalonkan Prabowo sebagai calon presiden.
"Ini gejolak luar biasa sehingga menghadirkan rapimnas, sebelumya ada Mukernas III Bogor. Mukernas islah tapi goresan-goresan ini tetap menimbulkan bekas," katanya.
Terakhir, kata Qoyum, status Suryadharma menjadi tersangka KPK. Hal itu menimbulkan keresahan di kalangan kader PPP. Lazimnya menjadi tersangka, maka orang tersebut harus secara ikhlas mundur demi nama baik dan kebesaran partai.
"Ini tidak terjadi sesuai rapat pimpinan nasional," ujarnya.
Hal tersebut melahirkan Muktamar Surabaya yang secara aklamasi memilih Romahurmuziy sebagai Ketua Umum PPP. "Pada Muktamar di Surabaya, dihadiri oleh 72 persen. Sehingga secara de facto dan de jure, kita memenuhi," tuturnya.