TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik senior KPK, Novel Baswedan yang mantan anggota Polri, mengungkapkan kekecewaan dan kemurkaannya terhadap cara pihak Polri menangani kasus yang dituduhkan kepadanya.
Bagi Novel, rangkaian cara pihak Polda Bengkulu hingga Bareskrim Polri yang menjeratnya menjadi tersangka hingga melakukan penangkapan lebih didasari rasa kebencian terhadap dirinya.
"Novel bilang, 'Ini adalah sebuah penyidikan yang sangat buruk, penyidkan yang hanya didasari kebencian.' Dan dia marah besar sewaktu di Bareskrim tadi," ujar anggota tim kuasa hukum Novel, Muhamad Isnur di depan Mako Brimob Depok, Jawa Barat, Jumat (1/5/2015).
Novel Baswedan adalah penyidik senior KPK. Ia ditangkap oleh Bareskrim Polri dari rumahnya di Kelapa Gading pada Jumat dini hari karena tidak kooperatif selaku tersangka penganiayaan pencuria sarang burung walet saat menjadi Kasat Reskrim Polres Bengkulu pada 2004.
Menurut Isnur, ada sejumlah kejanggalan, mulai penyelidikan, penyidikan, penangkapan hingga penahanan dirinya.
Kejanggalan itu adalah surat perintah penyidikan lanjutan terhadap Novel Baswedan lebih dari satu kali. Yakni, surat perintah penyidikan lanjutan per 17 Februari 2015, yang sempat diberhentikan atas perintah Presiden SBY pada 2012 dan surat perintah penyidikan lanjutan per 6 April 2015.
Pada 20 dan 24 April 2015, keluar Surat perintah Penangkapan dari Kabareskrim Komjen Pol Budi Waseso dan Direktur Tindak Pidana Umum Brigjen Herry Prastowo.
Akhirnya, Novel ditangkap tim Bareskrim di rumahnya, Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Jumat 1 Mei 2015, pukul 00.20 WIB.
Kejanggalan kembali terjadi dalam penangkapan Novel ini. Sebab, salah satu surat penangkapan Novel ditandatangani oleh pejabat Polri setingkat Kabareskrim, Komjen Pol Budi Waseso itu.
Selain itu, penangkapan dilakukan tanpa alasan hukum yang jelas, yakni karena dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan. Padahal, Novel memberikan surat penjelasan ke Bareskrim perihal dirinya tidak bisa hadir karena mendapat tugas dari pimpinan KPK di luar kota.
"Kalau alasan menghilangkan atau merusak barang bukti, kan kasusnya sudah sejak 2004, sudah 9 tahun lalu. Kalau alasan kabur, nggak mungkin, kan dia masih aktif anggota KPK, masa mau kabur. Lalu alasannya apa dia ditahan," tuturnya.
Kejanggalan jauh hari sebelum kasus Novel masih ditangani Polda Bengkulu. Yakni adanya perubahan kasus yang dituduhkan.
Pertama, kasus penembakan hingga hilangnya nyawa pencuri sarang burung walet di Bengkulu dilaporkan oleh pihak kepolisian sendiri, yakni Brigadir Polisi Yogi Hariyanto pada 2004. Anggota kepolisian itu sama sekali tidak ada di tempat dan tidak mengetahui peristiwa meninggalnya pencuri sarang burung walet, Mulyan Johani.
Selain itu, Novel juga tidak ada di lokasi penganiayaan dan penembakan korban karena baru empat hari jadi Kasat Reskrim Polres Bengkulu. "Justru di Lokasi kejadian Ada Wakapolres dan Kabag Ops, atasan Novel. Saat itu Novel sangat keras memberantas Judi, illegal logging dan Narkoba. Dia dibenci oleh banyak polisi dan provost yang jadi backing di sana," ujarnya.
Berikutnya, Novel justru dijerat atas pasal penganiayaan terhadap korban berbeda dari pencuri sarang burung walet tersebut.
Bagi Isnur, upaya yang dinilai tegas terhadap Novel ini bukan lah bagian untuk memperbaiki citra Polri.
"Karena itu, penangkapan dan penahanan ini justru menambah citra buruk kepolisian, ini sama saja dia mengubur diri sendiri," imbuhnya.