TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Eksekusi mati kepada warga negara asing oleh Kejaksaan Agung dinilai sudah tepat dan tak menyalahi aturan hukum yang berlaku. Jaksa Agung M.Prasetyo dinilai sudah tepat dalam mengambil kebijaksan terkait eksekusi mati.
Hal itu ditegaskan Mantan Menteri Hukum dan HAM, Andi Matalatta, di Jakarta, Senin (4/5/2015).
"Tak ada masalah dengan eksekusi hukuman mati itu. Semua berjalan sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku. Saya kira Kejaksaan perlu diapresiasi," ujar Matalatta.
Menurut dia, pasti para aparat Kejaksaan Agung mengalami berbagai tekanan terkait proses eksekusi itu. Banyak yang menjadi pertimbangan, apalagi hal itu menyangkut warga negara asing.
Namun, kata Matalatta, bagaimanapun juga Kejaksaan Agung harus mengikuti aturan hukum di Indonesia. Mereka harus tunduk pada tugas pokok dan fungsi mereka (tupoksi) sebagai dalam mengeksekusi putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
"Harus diingat, hukum itu sendiri dibuat oleh publik, bukan oleh satu orang saja. Hukum dibuat oleh lembaga yang mewakili rakyat dan pemerintah. Kejaksaan wajib tunduk," jelasnya.
"Selain itu, tak semua kejahatan dikenakan pidana mati. Tapi di Indonesia, narkoba adalah extraordinary crime. BNN sudah merilis sertiap hari ada warga yang mati karena narkoba. Apa mau dibiarkan? Apalagi yang dihukum mati ini penyalur. Dia yang menyebabkan warga negara mati karena narkoba."
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Chairul Huda, menilai kinerja Kejaksaan Agung RI patut mendapatkan apresiasi dalam pelaksanaan proses eksekusi mati terpidana narkoba.
"Saya pikir kinerja Kejaksaan Agung terkait dua kali pelaksanaan pidana mati yang sudah lewat itu cukup baik. Perlu diapresiasi Kejagung dalam soal ini," kata Chairul Huda.
Dia menekankan Kejaksaan hanya sebagai pelaksana pidana mati. Maka salah alamat jika Kejaksaan Agung dikecam soal eksekusi mati karena lembaga itu hanya pelaksana putusan semata.
Menurutnya, yang dapat merubah pidana mati yang sudah berkekuatan hukum tetap hanya presiden. Maka siapapun pihak yang mengecam Kejaksaan Agung atas pelaksanaan ekskusi itu menunjukkan adanya kurang pemahaman terhadap sistem hukum Infonesia atau menunjukkan adanya rasa frustasi.
Terkait penundaan eksekusi mati Mary Jane, Chairul menilai Jaksa Agung M.Prasetyo sangat bijak karena melihat penundaan itu baik dalam rangka menjaga hubungan Indonesia-Filipina. Selain itu, ada alasan hukum yang kuat dari Kejaksaan Agung, mengingat otoritas Filipina mendapatkan dan bahkan menangkap pihak yang diduga telah menjebak Mary ke dalam tindak pidana terkait narkoba itu.
"Penundaan eksekusi mati adalah langkah yang tepat. Mengingat pidana mati, jika telah dieksekusi, tidak bisa diperbaiki lagi," ujar Chairul.
"Boleh jadi adanya proses hukum baru di Filipina bisa menjadi dasar pengabulan grasi buat yang bersangkutan atau pengambilan langkah hukum lainnya oleh Jaksa Agung beserta jajarannya," ia menegaskan.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung RI sudah melaksanakan setidaknya dua gelombang eksekusi mati terpidana narkoba di 2015. Mereka adalah:
1. WN Brasil, Marco Archer Cardoso Moreira, kasus penyelundupan 13 kg kokain
2. WN Malawi, Namaona Denis, kasus penyelundupan 1 kg heroin
3. WN Nigeria, Daniel Enemuo, kasus penyelundupan heroin lebih dari 1 kg
4. WN Belanda, Ang Kiem Soei, kasus pabrik narkoba terbesar se-Asia
5. WN Vietnam, Tran Thi Bich Hanh, kasus penyulundupan 1,5 kg sabu
6. WNI Rani Andriani, kasus penyelundupan 3,5 kg heroin
7. WN Australia, Myuran Sukumaran, kasus penyelundupan 8,2 kg heroin
8. WN Ghana, Martin Anderson, kasus perdagangan 50 gram heroin
9. WN Spanyol, Raheem Agbaje Salami, kasus penyelundupan 5,8 kg heroin
10. WN Brasil, Rodrigo Gularte, kasus penyelundupan 6 kg heroin
11. WN Australia, Andrew Chan, kasus penyelundupan 8,2 kg heroin
12. WN Nigeria, Sylvester Obiekwe Nwolise, kasus penyelundupan 1,2 kg heroin
13. WN Nigeria, Okwudili Oyatanze, kasus perdagangan 1,5 kg heroin
14. WNI, Zainal Abidin, kasus 58 kg ganja