TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sri Mulyani membantah saat menjabat Menteri Keuangan pada 2009, terlibat penunjukan langsung PT Trans-Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) selaku pengolah dan penjual kondensat negara dari BP Migas (sekarang; SKK Migas) Kementerian ESDM.
Bantahan ini disampaikannya menyusul pernyataan Kepala SKK Migas, Amin Sunaryadi, ke sebuah media massa, yang menyebutkan penunjukan langsung BP Migas kepada PT TPPI dalam penjualan kondesat negara karena adanya surat persetujuan dari Sri Mulyani selaku Menkeu.
"Saya ingin meluruskan pernyataan Amien Sunaryadi yang menyebutkan bahwa seolah-olah Menkeu melakukan penunjukan langsung," kata Sri Mulyani usai menjalani pemeriksaan penyidik Bareskrim Polri sebagai saksi kasus korupsi kondensat di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Senin (8/6/2015) malam.
Sri Mulyani yang kini menjabat Managing Director and Chief Operating Officer World Bank itu juga mengaku, telah menemui Amien Sunaryadi dan meminta klarifikasi pernyataannya. Hasilnya, Amien Sunaryadi mengakui kesalahan pernyataannya itu.
Menurut Sri, pada saat menjabat Menkeu dan Bendahara Umum Negara hanya menerbitkan surat Nomor 85/MK/02/2009 tentang tata laksana atau cara pembayaran penjualan kondensat yang dikelola oleh BP Migas (sekarang; SKK Migas) untuk diolah PT TPPI.
"Surat Menkeu (yang saya terbitkan) mengenai tata laksana. Dan itu berdasarkan fungsi dan kewenangan Menkeu sebagai Bendahara Umum Negara yang diatur di dalam Undang-undang Keuangan Negara maupun Undang-undang Perbendaharaan Negara," katanya.
Sebelumnya, pihak Bareskrim Polri menyampaikan, pihaknya membutuhkan keterangan Sri Mulyani karena ingin mengetahui tentang skema tata cara pembayaran penjualan kondensat negara oleh PT TPPI ke negara.
Pihak Bareskrim mempunyai bukti kejanggalan tata cara pembayaran tersebut karena seharusnya ada kontrak kerja yang mendukungnya.
Dalam penyidikan kasus ini, penyidik menemukan lebih dua alat bukti tentang pelanggaran tindak pidana korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait penjualan kondensat negara dari BP Migas ke PT TPPI pada 2009-2011.
Pertama, adanya penunjukan langsung PT TPPI oleh BP Migas dalam penjualan kondensat. Kedua, PT TPPI telah melanggar kebijakan wakil presiden untuk menjual kondensat ke PT Pertamina dan justru menjualnya ke perusahaan lain.
Penyidik juga menemukan, meskipun kontrak kerja sama SKK Migas dengan PT TPPI ditandatangani pada Maret 2009, tetapi PT TPPI sudah menerima dan menjual kondensat dari BP Migas sejak Januari 2009.
Selain itu, PT TPPI juga diduga tidak menyerahkan hasil penjualan kondensat negara ke kas negara. Akibatnya, potensi kerugian negara sementara mencapai sekitar Rp 2 triliun.
Dalam kasus korupsi dan TPPU ini, pihak Bareskrim telah memeriksa 30 saksi, baik dari pihak SKK Migas, PT TPPI, maupun Kementerian ESDM. Selain itu, tiga orang, yakni DH, RP, dan HW dari BP Migas dan PT TPPI telah ditetapkan sebagai tersangka.