TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus tragis pembunuhan terhadap bocah Angeline (8) menjadi catatan penting bahwa kekerasan terhadap anak belakangan marak terjadi.
Karena itu negara dalam hal ini pemerintah harus segera bersikap agar memberikan perlindungan kepada anak secara serius. Jangan jadikan lagi anak menjadi warga negara kelas dua.
“Artinya lingkungan anak yang seharusnya memberikan rasa aman bagi anak, menjadi faktor yang paling retan melakukan kekerasan pada anak. Dasar terjadinya kekerasan pada anak kiranya dapat menjadi pertimbangan bagi negara dalam memberikan perlindungan bagi anak secara serius. Anak seharusnya tidak lagi menjadi warga Negara kelas dua, yang haknya terabaikan dan diwujudkan hanya bila diminta,” ujar Politisi Partai Demokrat Inggrid Kansil dalam pernyataannya yang diterima Tribunnews, Kamis(11/6/2015).
Inggrid mengatakan berdasarkan data KPAI pada tahun 2014 sebanyak 3700 kasus anak terjadi pada setiap tahunnya. Bahkan dalam survei lanjutan yang dilakukan KPAI di 9 Provinsi terungkap bahwa pelaku kekerasan terhadap anak dilakukan tertinggi pertama oleh orang tua, teman dan tenaga pendidik.
Atas dasar itulah kata Inggrid diperlukan pula sistem hukum dan sosial yang harus dibangun dan bersifat peka terhadap kehidupan anak.
“Begitu juga harus ada sistem hukum dan sosial yang dibagun oleh kita sebagai orang tua dan warga negara. Setidaknya saya melihat ada dalam dua format, antara lain pemerintah dan kelompok sosial masyarakat. Pemerintah saat ini yang membangun kabinet secara kompleks seharusnya dapat mampu membangun sistem hukum dan sosial yang peka terhadap anak. Kementrian Pemberdayaan Perempuan tidak dapat hanya sekedar bergerak jika ada kasus yang terjadi. Harus ada pencegahan dini, peringatan keras bahkan hukum yang tegas bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Ini harus menjadi‘role model’dalam setiap kasus anak,” kata Inggrid.
Istri mantan Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan ini juga menjelaskan berulangnya kasus kekerasan terhadap anak karena sistem hukum yang lemah.
Semestinya pelaku kekerasan terhadap anak dikenakan pasal berlapis.
"Apalagi korban adalah warga Negara yang tidak berdaya dan belum memiliki kuasa penuh terhadap dirinya dikarenakan belum mencapai usia 17 tahun,” katanya.
Lanjut Inggrid untuk kelompok sosial masyarakat. Menurut dia kelompok sosial masyarakat sebagai kelompok yang paling terdekat dengan masyarakat harus mampu menjadi pioneer terdepan dalam mengurangi tingkat kekerasan pada anak.
“Pemahaman pola pendidikan yang sehat pada anak dalam lingkup terdekat dapat dilakukan dalam cluster terkecil yaitu rukun tetangga.Ini dapat dilaksanakan jika kelompok sosial yang memahami mau mendorong. Semua itu harus tetap di damping oleh KPAI dan juga Komnas Perempuan sebagai lembaga yang dimiliki oleh Negara untuk terus melakukan advokasi dan pendidkan ditengah masyarakat,” ujarnya.
Karena itu menurut Inggrid rangkaian tersebut seharusnya menjadi pola dasar perlindungan anak Indonesia, kita dapat terus sekedar mewacanakan.
Besar angka kekerasan terhadap anak sesunguhnya menjadi indikator terpenting keberhasilan pembangunan manusia sebuah bangsa.