Oleh: Ilham Khoiri
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua pekan ini, masyarakat Indonesia terharu biru oleh tragedi Engeline, bocah perempuan usia 8 tahun yang ditemukan tewas terkubur di rumah orangtua angkatnya di Denpasar, Bali. Tak hanya membuat publik terkesiap dengan seluk-beluk kisah kriminal yang mengudak emosi, drama ini juga bisa menjadi pintu masuk untuk kembali membicarakan lebih serius isu penelantaran anak dalam rumah tangga. Bagaimana semestinya kita, semua elemen bangsa ini, mengurus anak telantar, terutama mengawasi anak angkat?
Pada 16 Mei 2015, Engeline dinyatakan hilang saat bermain di depan rumah orangtua angkatnya, Margriet C Megawe, di Sanur, Bali. Ia dilaporkan tak pulang selama tiga hari. Keluarga melaporkan kasus ini ke Kepolisian Sektor Denpasar Timur.
Esok harinya, kakak angkat Angeline, Yvon, membuat fan page di Facebook, "Find Engeline-Bali's Missing Child", seraya mengunggah foto dan video bocah itu. Hati publik terenyuh. Polisi turun tangan untuk mencari. Begitu pula dengan orangtua kandung Engeline, Hamidah dan Rosidik, asal Banyuwangi, Jawa Timur.
Engeline memang diadopsi oleh Margriet dan almarhum suaminya asal Amerika Serikat sejak 2007. Ayah angkat Engeline meninggal tiga tahun lalu.
Di rumah orangtua angkatnya, Engeline tinggal, antara lain, bersama ibu angkat dan seorang pembantu laki-laki, Agustinus Tai, yang membersihkan rumah dan mengurus kandang ayam. Bocah perempuan itu juga sering ikut memberi makan ayam.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi serta Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengunjungi rumah keluarga Engeline di Sanur secara terpisah, 5 dan 6 Juni 2015. Namun, keduanya tidak ditemui oleh keluarga.
Pada 10 Juni 2015, polisi menemukan jenazah Engeline di halaman belakang rumah orangtua angkatnya. Jenazah terkubur sedalam sekitar setengah meter di dekat kandang ayam rumah itu. Publik geger. Polisi lantas menetapkan Agustinus Tai sebagai tersangka pembunuhan. Dalam proses berikutnya, Margriet juga ditetapkan sebagai tersangka, kali ini terkait penelantaran anak angkat dan kekerasan dalam rumah tangga.
Kita berharap proses hukum di kepolisian berjalan secara cermat, adil, tegas, dan menjerat semua pelaku yang terlibat dalam pembunuhan Engeline. Diduga kasus itu tak hanya dilakukan oleh pembunuh tunggal, tetapi merupakan persekongkolan beberapa orang. Sambil terus mengawasi proses itu, ada baiknya kita mengulik soal adopsi Engeline, perlindungan dalam keluarga angkatnya, dan sanksi hukum. Hal ini agar tragedi Engeline tak terulang pada bocah-bocah lain.
Dari penjelasan polisi dan kuasa hukum Margriet, kita tahu, proses adopsi Engeline tidak berjalan sempurna. Terdesak kesulitan ekonomi untuk menutup biaya kelahiran, orangtua kandung menyerahkan bayi Engeline kepada Margriet dan suami. Orangtua angkat, diwakili Margriet, lantas membuat penetapan adopsi di depan notaris.
Proses itu tidak cukup, terutama karena tidak disertai rekomendasi dari Kementerian Sosial (Kemsos) dan penetapan oleh pengadilan negeri. Proses adopsi bisa dilakukan melalui dua jalur, yaitu dinas sosial (dinsos) dan yayasan. Sejauh ini, baru ada sembilan yayasan pengasuh anak telantar yang diberi kewenangan untuk mengurus proses adopsi oleh Kemsos.
Prosedur adopsi
Sebagaimana dijelaskan Kepala Subdirektorat Kesejahteraan Anak dan Balita Kemsos Puti Chairida Anwar (Kompas, 13/6/2015), setelah memenuhi kelengkapan dokumen, seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan akta kelahiran anak, orangtua kandung mengajukan permohonan menyerahkan anak untuk diadopsi ke dinsos. Tim khusus penilaian mengecek keluarga orangtua angkat, seperti suasana rumah, keuangan, hingga kesiapan mental. Anak akan diberi waktu enam bulan untuk berinteraksi dengan calon keluarga angkat. Jika dinilai cocok, adopsi ditetapkan oleh surat pengesahan dari pengadilan. Jika tidak, prosesnya dihentikan.
Semua proses itu sebenarnya sudah diatur, seperti termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak serta Peraturan Mensos No 110/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. Setelah anak resmi diadopsi, tim dari dinsos terus melakukan pemantauan selama satu tahun hingga dua tahun.
Langkah itu demi memastikan anak angkat mendapat perlindungan dan pendidikan serta keluarga angkat mampu menangani anak itu dengan baik. Artinya, adopsi harus diarahkan untuk memberikan kehidupan yang berkualitas bagi anak, bukan sebaliknya.
Sebagaimana anak-anak yang diasuh orangtua kandung, anak-anak adopsi juga dilindungi undang-undang (UU). Salah satunya, UU No 35/2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Ada juga UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Aturan ini mewajibkan orangtua untuk melindungi, mendidik, dan merawat anak secara baik. Orangtua, termasuk orangtua angkat, yang melakukan pelanggaran, seperti menelantarkan anak, bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam UU ini.
Pelajaran dari kasus Engeline
Kembali ke tragedi Engeline, data sementara menunjukkan, proses adopsi tidak berjalan dengan semestinya. Tidak ada peninjauan dari dinsos ataupun pengesahan dari pengadilan. Setelah diadopsi, bocah itu diperkirakan mendapat kekerasan berkelanjutan.
Seperti disebutkan dalam beberapa berita, guru tempat Engeline belajar, SDN 12 di Sanur, Bali, sebenarnya mencurigai kondisi muridnya yang sering datang ke sekolah dalam keadaan kotor, terkesan menderita luka, dan belum makan. Namun, sekolah kurang melangkah jauh. Para tetangga juga mencium gelagat Engeline menjadi korban kekerasan, tetapi belum ambil tindakan untuk menghentikan.
Bagaimana dengan negara? Karena tidak dilibatkan sejak awal proses adopsi, negara, dalam hal ini dinsos di Bali, terkesan belum melakukan apa-apa. Adalah Komnas Perlindungan Anak yang aktif mengadvokasi kasus ini, mengunjungi rumah Engeline, dan mengawal proses hukum di pengadilan.
Publik mengikuti kasus ini sejak muncul laporan kehilangan di Facebook dan Twitter, diikuti pemberitaan di media daring dan cetak, hingga temuan jenazah yang disiarkan media secara nasional. Selain terkesiap dengan tragedi memilukan yang menimpa Engeline, publik menuntut kasus ini dibongkar tuntas. Semua pelaku yang terlibat kekerasan ditindak dan dijatuhi hukuman setimpal. Kepolisian juga diminta bekerja profesional. Hingga kini, polisi memperlihatkan kinerja yang baik.
Lebih dari itu, kasus Engeline hendaknya menjadi alarm, peringatan, agar kita kian peka dengan pentingnya perlindungan terhadap anak-anak. Kita juga diingatkan untuk segera mengambil langkah jika melihat ada gejala anak di sekitar kita mengalami kekerasan.
Anak adalah amanat. Orangtua wajib mengasuh, melindungi, membesarkan, dan memberi anak pendidikan yang layak, baik anak kandung maupun angkat. Kita semua berharap tragedi ini tidak lagi menimpa anak-anak lain di negeri ini.
* Artikel ini terbit di Kompas Digital edisi 16 Juni 2015 dengan judul "Tragedi Engeline, Alarm bagi Kita".