Oleh: Ikrar Nusa Bhakti
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah lima tahun berjuang, Fraksi Partai Golkar kini bisa mengumbar senyum kemenangan karena usulan mengenai Program Pembangunan Daerah atau lebih populer disebut dana aspirasi, yang diajukannya, tetapi ditolak DPR dan pemerintah pada Juni 2010, akhirnya diterima pada Sidang Paripurna DPR, Selasa, 23 Juni 2015, yang hanya dihadiri 315 dari 560 anggota DPR.
Pada 2010, bukan hanya partai-partai nonpemerintah yang menolak dana aspirasi, melainkan juga partai-partai pendukung pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan (Setgab). Itu yang menyebabkan Partai Golkar ngambek dan mengancam ingin keluar dari Setgab walaupun hanya gertak sambal belaka (Ikrar Nusa Bhakti, "Bila Partai Golkar 'Ngambek'", Kompas, 11/6/2010).
Lima tahun berlalu, koalisi pemerintahan berganti, kongsi politik pun tetap pecah gara-gara hiruk-pikuk soal dana aspirasi. Bedanya, sebagian besar partai dan politisi pada 2010 "tidak tuli" dan masih mau mendengar aspirasi masyarakat sipil yang menentang penerapan dana aspirasi.
Pemerintahan SBY-Boediono juga setali tiga uang dengan aspirasi rakyat. Kini, pada 2015, kongsi politik di Koalisi Indonesia Hebat (KIH), seperti pada Setgab 2010, juga pecah soal dana aspirasi. Bedanya, jika dulu mayoritas anggota Setgab menolak dana aspirasi, kini hanya Partai Nasdem, Partai Hanura, dan PDI Perjuangan yang masih konsisten menolak dana aspirasi.
Zaman berganti, koalisi politik berganti, kepentingan politik dan ekonomi pun berganti. Jika pada 2010 usulan Partai Golkar ditolak karena dana aspirasi akan menggunakan uang rakyat Rp 8,4 triliun (560 anggota DPR x Rp 15 miliar), kini sebagian besar partai dan anggota DPR malah menerimanya walaupun angkanya malah lebih membengkak menjadi Rp 11,2 triliun (560 anggota DPR x Rp 20 miliar).
Pertanyaannya, mengapa dulu ditolak dan kini diterima?
Amerikanisasi politik Indonesia
Sebagian elite politik di Indonesia tidak jarang melontarkan komentar bahwa politik Indonesia pasca Soeharto sudah menjurus ke gaya politik elite politik di Amerika Serikat (AS). AS memang dapat dikategorikan sebagai kampiun demokrasi. Kemerdekaan AS yang diproklamasikan pada 4 Juli 1776 setelah berjuang lama melawan induk semangnya, Inggris, menjadikan AS sebagai contoh negara jajahan yang dapat keluar dari belenggu kolonialisme.
Meski saat itu masih terjadi perbudakan di tanah Amerika, seorang tokoh kemerdekaan AS yang saat itu menjadi majikan yang bijak bagi para budaknya, Thomas Jefferson, membuat draf deklarasi kemerdekaan (declaration of independence) AS yang amat maju.
Deklarasi kemerdekaan yang amat inspiratif itu, antara lain, berbunyi, "We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights, that among these are Life, Liberty, and the persuit of Happiness (Kita memegang teguh suatu kebenaran yang hakiki, bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi Sang Pencipta dengan hak-hak yang tidak dapat diambil, antara lain hak Hidup, Kebebasan, dan mengejar Kebahagiaan)." Untuk mempertahankan hak-hak tersebut itulah negara dibentuk dan agar tidak terjadi sistem pemerintahan otoriter, cabang pemerintahan dibagi tiga, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif seperti dalam Trias Politika.
Agar ada hubungan "batin" antara pemilih dan para wakil yang dipilihnya, lahirlah konsep dana aspirasi yang di AS dikenal dengan istilah pork-barrel politics (politik gentong babi). Istilah pork barrel mulai populer di AS pada 1863 dan kemudian menjadi pork barrel bills oleh Kongres AS pada 1919. Konsep gentong babi mengandung arti penggunaan dana publik yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembangunan di daerah oleh para anggota parlemen di daerah-daerah pemilihannya (konstituennya).
Di AS sendiri konsep ini digunakan oleh para anggota parlemen sebagai bagian dari vote buying politics (politik beli suara) pada setiap pemilihan umum. Praktik pork barrel politics masih berlangsung di AS hingga saat ini walaupun tidak sedikit masyarakat yang mengkritiknya dan pelaksanaannya juga tidak jarang menyimpang dari rencana pembangunan semula.
Memperluas ketidakadilan