News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Revisi UU KPK

ICW Minta Presiden Tolak Rencana DPR Revisi UU KPK

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Juntho membawa bendera setengah tiang di KPK, Jakarta, Senin (2/3/2015).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -  Presiden Jokowi diminta menolak rencana DPR merevisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden Jokowi dengan kewenangannya juga diminta menarik diri dari pembahasan perubahan undang-undang tersebut di Parlemen jika DPR berkeras merevisi undang-undang tersebut.

"Kami mendesak Presiden Jokowi untuk tetap konsisten mendukung penguatan KPK dengan cara menolak gagasan DPR memasukkan revisi UU KPK dalam Prolegnas 2015 dan tidak menunjuk wakil pemerintah dalam proses pembahasan Revisi UU KPK dengan DPR," kata Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indnesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho dalam keterangan pers, Kamis (25/6/2015).

Pernyataan sikap ICW ini disampaikan menyusul keputusan DPR yang memasukkan Rancangan Undang-undang (RUU) KPK atas perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015, saat Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/6/2015).

Lima poin yang menjadi target dalam perubahan UU KPK tersebut, yakni pembatasan kewenangan penyadapan, pembentukan dewan pengawas KPK, penghapusan kewenangan penuntutan, pengetatan rumusan kolektif-kolegial dan pengaturan terkait Pelaksana tugas pimpinan KPK jika berhalangan hadir.

Emerson menceritakan, upaya untuk merevisi UU KPK dengan substansi perubahan materi serupa pernah diusulkan untuk dibahas di DPR pada 2012 lalu. Saat itu, seluruh fraksi di DPR menyatakan menolak revisi undang-undang tersebut.

Namun, kondisi saat ini berbanding terbalik karena seluruh fraksi di DPR, tak terkecuali fraksi parpol pendukung pemerintahan Jokowi-JK, menyatakan setuju merevisi UU KPK.

Bagi ICW, alasan pihak DPR yang setuju percepatan pembahasan revisi UU KPK melalui Prolegnas Prioritas 2015 untuk memperkuat KPK, adalah tidak dapat diterima. Sebab, lima poin krusial yang akan diubah dalam undang-undang tersebut adalah jantung kekuatan KPK.

"Keputusan ini telah memperburuk citra DPR di mata publik karena pada saat yang bersamaan DPR telah mendukung dana aspirasi sebesar Rp 20 miliar per anggota," ujarnya.

Menurutnya, patut diduga ada konflik kepentingan yang besar di balik dukungan seluruh anggota Dewan yang hadir dalam Rapat Paripurna tersebut. Sebab, jika mengacu pada data KPK sejak 2004 sampai saat ini, tercatat ada 76 anggota DPR yang diproses hukum oleh KPK karena terlibat korupsi.

Adapun tuduhan dari DPR tentang adanya penyelahgunaan wewenang atau abuse of power di KPK yang dijadikan alasan justifikasi untuk merevisi UU KPK, juga tidak didukung oleh bukti yang kuat.

Selain itu, tidak ada kondisi darurat yang menjadi dasar alasan dimasukkannya revisi UU KPK dalam Prolegnas Prioritas 2015.

Di sisi lain, upaya para politisi Senayan untuk mempercepat revisi UU KPK tersebut juga patut dicurigai sebagai upaya “penyelematan diri” dan “balas dendam” mengingat sejumlah elit partai pernah dijerat dan menjadi terpidana korupsi sebagai hasil dari penyadapan KPK, serta tuntutan hukum yang tinggi dari para jaksa penuntut KPK.

"Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) sedikitnya 11 politisi Senayan dan parlemen daerah terjerat dalam perkara korupsi yang terungkap dari proses penyadapan yang dilakukan oleh KPK dan dituntut maksimal oleh jaksa KPK," ujarnya.

ICW mengapresiasi sikap Presiden Jokowi yang menyampaikan penolakannya terhadap revisi UU KPK pada Jumat, 19 Juni 2015 lalu.

Menurut Emerson, saat ini Jokowi selaku Presiden memiliki posisi yang sangat penting untuk menyelamatkan KPK.

Selain penolakan yang dapat diartikan sepihak itu, Jokowi selaku Presiden dan kepala pemerintahan juga mempunyai kewenangan untuk menarik diri terlibat dalam pembahasan revisi UU KPK bersama dengan DPR.

Hal itu diatur dalam dalam Pasal 49 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal tersebut mengatur, terhadap RUU inisiatif dari DPR, maka Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.

Berdasarkan ketentuan tersebut, jika Presiden Jokowi tidak menugasi menteri selaku perwakilan pemerintah dalam pembahasan Revisi UU KPK dalam jangka waktu tersebut, maka pembahasan tidak dapat dilakukan oleh DPR RI. Dengan demikian, proses pembahasan revisi UU KPK yang tidak dihadiri oleh pemerintah dapat dikatakan sebagai cacat hukum.

Dengan penjelasan-penjelasan itu, ICW mendesak Presiden Jokowi untuk tetap konsisten mendukung penguatan KPK dengan cara menolak rencana DPR memasukkan revisi UU KPK dalam Prolegnas 2015 dan tidak menunjuk wakil pemerintah dalam proses pembahasan revisi undang-undang tersebut dengan DPR.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini