TRIBUNNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK INDONESIA), Mirah Sumirat mendesak Pemerintahan Jokowi untuk menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat Indonesia, khususnya terkait dengan beroperasinya secara penuh BPJS Ketenagakerjaan pada 1 Juli 2015.
"Peraturan Pemerintah tentang Jaminan Pensiun yang hanya memberikan manfaat 40 % dari upah rata-rata selama masa kerja dan besaran iuran yang ditetapkan hanya 3 %, menyiratkan pemerintahan Jokowi tidak serius dalam melaksanakan amanah UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)," ujarnya, Jumat (3/7/2015)
Mirah Sumirat mengingatkan Presiden Jokowi tentang amanah UU SJSN, pada pasal 3 yaitu untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
Amanah UU ini yang seharusnya menjadi pijakan Pemerintahan Jokowi. Bagaimana mungkin pekerja dan keluarganya dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak jika hanya mendapatkan manfaat 40% dari upah rata rata selama masa kerja?
"Apalagi Pemerintah masih menerapkan politik upah murah yang jauh dari pemenuhan Kebutuhan Hidup Layak? "Hitungan matematikanya" tidak masuk logika kemanusiaan, tegas Mirah Sumirat.
Ia berharap pemerintahan Jokowi berani merevisi penetapan manfaat pensiun dan iuran jaminan pensiun yang telah dirumuskan oleh pemerintah, sebagaimana yang telah diumumkan oleh Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan pada saat peresmian operasional penuh BPJS Ketenagakerjaan, di Cilacap Jawa Tengah, Selasa (30/06/2015) yang lalu.
Mirah juga mengkritisi aturan baru yang diterapkan oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Juli 2015 yang menyatakan bahwa pencairan dana JHT dapat dilakukan setelah masa kepesertaan 10 tahun dan hanya bisa diambil 10% saja serta sisanya baru bisa diambil setelah usia 56 tahun.
Aturan baru Direksi BPJS Ketenagakerjaan ini mengindikasikan masih adanya "Raja-raja kecil" di BPJS Ketenagakerjaan yang secara sengaja telah mengabaikan hak pekerja untuk dapat memperoleh manfaat pasti. Pasal 1 ayat 7 UU 40/2004, secara tegas telah menyatakan bahwa dana jaminan sosial adalah dana amanat milik seluruh peserta dalam hal ini adalah para pekerja/buruh.
"Direksi BPJS Ketenagakerjaan tidak boleh menafsirkan sendiri UU 40/2004 serta mengabaikan hak dari peserta sebagai "Pemberi Amanat". Keputusan pembatasan pencairan dana JHT juga terkesan bahwa Direksi lebih memprioritaskan aspek pengembangan dana jaminan sosial pada instumen investasi dibandingkan memaksimalkan pemberian manfaat kepada peserta," sesalnya.
Jika hasil pengembangannya tinggi, katanya lagi, tentunya akan berdampak pada peningkatan biaya operasional BPJS Ketenagakerjaan termasuk pemberian bonus dan kenaikan gaji Direksi dan pekerja di BPJS Ketenagakerjaan.
"Ini yang harus dicermati, jangan sampai Direksi dan pekerja di BPJS Ketenagakerjaan hidup dengan fasilitas bermewah-mewah dari dana amanat milik seluruh peserta, yang seharusnya menjadi hak peserta dan keluarganya. KPK perlu melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan di BPJS Ketenagakerjaan. Jangan sampai dana amanat milik peserta menjadi " bancaan" pihak pihak yang tidak bertanggung jawab," tegas Mirah Sumirat.