TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengatakan warga yang tertembak oleh pihak keamanan saat insiden di Tolikara, Papua merupakan risiko.
Menurut Badrodin, anak buahnya melakukan upaya tembakan saat itu karena aksi para pelaku penyerangan sudah sangat jelas melanggar konstutisi yang ada. Sehingga apabila ditembak, itu merupakan risiko karena melanggar konstitusi.
"Adanya penembakan karena itu wujud dari upaya negara untuk menjamin konstitusi. Karena memang konstitusi itu harus ditegakkan. Tidak boleh ada yang melanggar. Kalau ada yang tertembak ya itu risiko karena melanggar konstitusi," tegas Badrodin, Senin (20/7/2015) malam di Mabes Polri.
Badrodin melanjutkan, sejauh ini penembakan di Tolikara sudah sesuai dengan prosedur dan tidak ada masalah. Menurutnya penembakan di Tolikara, tidak perlu menunggu perintah.
"Yang menembak dari aparat keamanan ada Polri dan TNI. Penembakan itu sudah sesuai prosedur dan tidak ada masalah. Penanggung jawab ada di Polri," tambahnya.
Seperti diketahui, saat perayaan Idul Fitri 1436 Hijriah di Kabupaten Tolikara, Papua, Jumat (17/7/2015) waktu setempat terjadi insiden pembakaran puluhan kios hingga merembet ke musala saat umat Muslim tengah melaksanakan Shalat Ied di lapangan Koramil.
Akibat peristiwa itu, seorang warga dikabarkan tewas dan tiga tertembak, serta lima lainnya mengalami luka berat serta ringan. Seluruh korban luka dilarikan ke Rumah Sakit di Wamena dan Jayapura.
Kejadian ini bermula dari adanya surat edaran dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Tolikara yang melarang umat muslim di Kabupaten Tolikara untuk melakukan aktivitas keagamaan yakni tidak menggunakan pengeras suara (toa) saat Shalat Ied, Jumat (17/7/2015) pagi.
Hal ini karena lokasi shalat Ied dengan tempat dilangsungkannya seminar nasional/internasional yang diselenggarakan GIDI hanya berjarak 250 meter. Hingga akhirnya terjadi peristiwa penyerangan dan pembakaran di lokasi, dan umat Muslim disana pun berhamburan menyelamatkan diri.