TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama satu Abad ini berkiprah, Aisyiyah sudah melakukan banyak hal dalam berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi bahkan kader-kadernya juga tidak sedikit yang berperan aktif di sektor publik dan pemerintah.
"Meski begitu, sebagai organisasi perempuan tertua di Indonesia, Aisyiah seharusnya mampu berdiri di garda terdepan dengan management organisasi yang kuat, pendidikan politik yang sehat, hingga konsisten berpihak pada isu-isu responsif gender di ranah publik," ujar Wakil Sekjen Partai Solidaritas Indonesia, Danik Eka Rahmaningtiyas, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (5/8/2015).
Karena itu, dia mengharapkan muktamar ke-47 organisasi perempuan Muhammadiyah yang digelar di Makassar pada 3-7 Agustus 2015 tersebut bukan sekadar seremonial rutin organisasi semata. "Namun momentum muktamar satu abad ini juga harus mampu menjadi pemantik perubahan gerakan perempuan yang berkemajuan," ucapnya.
Tak hanya itu, Muktamar dengan tema "Gerakan Perempuan Muslim untuk Mencerahkan Bangsa" harus bisa menjadi daya tarik tersendiri dalam kancah pergerakan organisasi perempuan di Indonesia.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah ini menambahkan bahwa sebelum masa kemerdekaan, organisasi perempuan diperuntukkan untuk pemberdayaan dan mendekatkan perempuan dengan isu-isu publik.
Sementara pasca kemerdekaan, organisasi perempuan jangan sampai menjadi ruang dikotomis partisipasi publik berbasis gender. Budaya patriarkhi yang mengakar kuat ‘mengkamarkan’ kembali perempuan yang ingin aktif di ruang publik.
"Seharusnya sebuah organisasi pergerakan bukan sekedar berbasis gender semata, namun bagaimana ‘Aisyiyah mampu mengambil peran aktif di berbagai isu publik seperti dalam bidang politik, sosial-budaya, ekonomi, dan hankam," tegasnya.
“Besar harapan kami dalam Muktamar Aisyiyah satu abad ini, lahir pemimpin-pemimpin baru yang mampu menahkodai gerakan perempuan inklusif, sejalan dengan spirit Muhammadiyah: Islam berkemajuan," tutup kader putri Muhammadiyah ini.