TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap menindaklanjuti perkara pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
"Kita siap menerima apapun laporan tersebut,"ujar Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha saat dihubungi Kamis(13/8/2015).
Sementara itu Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji mengaku bahwa adanya indikasi korupsi pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum dibahas di level pimpinan.
"Belum ada pembahasan," kata Indriyanto.
Dalam temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pembelian lahan rumah sakit Sumber Waras merugikan negara Rp 191 miliar.
Berdasarkan kronologi yang dibuat oleh BPK, masalah bermula ketika pada 6 Juni 2014, Plt Gubernur yang saat itu dijabat oleh Ahok berminat membeli sebagian lahan seluas 3,6 hektar milik RS Sumber Waras untuk dijadikan rumah sakit jantung dan kanker.
Pembelian lahan dilakukan karena menurut Ahok kala itu, keberadaan rumah sakit untuk pasien sakit jantung dan kanker sangat diperlukan karena kondisi pasien rumah sakit yang ada kian membludak.
Di sisi lain, hal ini juga dilakukan karena sebelumnya lahan tersebut akan dibeli oleh PT Ciputra Karya Utama dan diubah peruntukkan menjadi tempat komersil seperti mal.
Pada 16 Juni 2014, Pihak Rumah Sakit Sumber Waras menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat kontrak atau kerjasama dengan PT Ciputra Karya Utama.
Namun, pada 27 Juni 2014, pihak Rumah Sakit Sumber Waras mengirim surat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia menjual lahan tersebut. Mereka pun memasang harga Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) senilai sekitar Rp 20 juta untuk lahan tersebut.
NJOP tersebut sama dengan sebagian lahan milik RS Sumber Waras lainnya yang dikelola oleh Yayasan Sumber Waras yang memiliki akses ke Jalan Kyai Tapa. Sementara lahan yang ditawarkan kepada Pemprov DKI berada di bagian belakang dekat Jalan Tomang Utara, Jakarta Barat.
Kemudian pada 7 Juli 2014, pihak RS Sumber Waras kembali mengirim surat kepada Pemprov DKI. Keesokan harinya, yaitu 8 Juli 2014, Plt Gubernur Ahok mendisposisikan surat tersebut ke Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI yang kala itu masih dijabat oleh Andi Baso untuk menyiapkan anggaran senilai Rp 20 juta, tanpa proses negosiasi.
Selang beberapa bulan kemudian, yaitu pada 14 November 2014, Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI mengeluarkan hasil kajian terhadap lahan Rumah Sakit Sumber Waras.
Dinkes DKI mengatakan lahan itu layak dibeli karena memenuhi beberapa syarat, yaitu tanahnya siap pakai, bebas banjir, akses jalan besar, jangkauan luas, dan luas lahan yang lebih dari 2500 meter persegi.
Sayangnya, BPK menilai lahan tersebut tidak memenuhi lima syarat yang dikeluarkan Dinkes DKI itu sendiri. BPK menilai lahan itu tidak siap bangun karena banyak bangunan, merupakan daerah banjir dan tidak ada jalan besar.
Kemudian pada 10 Desember 2014, Pemprov DKI secara resmi telah menunjuk lokasi pembelian lahan. Esoknya, pada 11 Desember 2014, pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras membatalkan perjanjian dengan PT Ciputra Karya Utama, karena beralih kerja sama dengan Pemprov DKI.
Pada 15 Desember 2014, bendahara umum Pemprov DKI pun mentransfer uang senilai Rp 800 miliar ke Dinkes DKI untuk mengeksekusi pembelian lahan tersebut. Kemudian pada 30 Desember 2014, Dinkes DKI membayar kepada Rumah Sakit Sumber Waras dalam bentuk cek.
Pada 31 Desember 2014, cek tersebut pun dicairkan oleh pihak Rumah Sakit Sumber Waras.
Salah satu masalah utama yang menyebabkan pembelian lahan ini menjadi temuan BPK adalah terkait harga NJOP.
Menurut BPK, lahan yang dibeli Pemprov DKI NJOP-nya hanya sekitar Rp 7 juta. Tapi, kenyataannya DKI malah membayar NJOP sebesar Rp 20 juta dinilai BPK merupakan NJOP tanah di bagian depan, yang masih menjadi milik pihak Rumah Sakit Sumber Waras.