TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan, pihaknya akan melanjutkan pasal penghinaan presiden yang masuk dalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Ini tetap diteruskan, kan kita sudah mengakomodasi. Harus dibedakan antara mengkritik, menghina harkat dan martabatnya. Kalau misalnya Menkumham itu tidak bisa membuat keputusan, malas dan sebagainya itu oke. Tapi kalau dibilang Menkumham itu anak haram jadah gue gibas dia," kata Yasonna di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2015).
Lebih lanjut Yasonna mengatakan, soal kemungkinan memodifikasi pasal yang tersebut, pihaknya akan segera membahas dengan DPR.
"Nanti komprominya (dengan DPR), itu sifatnya delik aduan," kata Yasonna.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tetap berusaha mengajukan pasal penghinaan terhadap presiden dalam revisi Undang-Undang KUHP. Menurut dia, pengajuan pasal itu sebenarnya sudah dilakukan sejak pemerintahan sebelumnya dan dia hanya melanjutkannya saat ini.
"Itu juga pemerintah yang lalu usulkan itu dan ini dilanjutkan dimasukkan lagi," kata Jokowi di Istana Bogor, Rabu (5/8/2015).
Menurut Jokowi, yang diusulkan dalam revisi UU KUHP baru berbentuk rancangan sehingga dia heran mengapa pasal itu terlalu diributkan. Dia berpendapat bahwa kini "bola" berada di Dewan Perwakilan Rakyat, apakah meloloskan pasal itu atau tidak.
"Namanya juga rancangan, terserah di Dewan dong. Itu rancangan saja kok ramai," ucap dia.
Jokowi mengungkapkan, pasal penghinaan presiden yang diajukan kali ini sebenarnya memberikan penjelasan tegas antara fitnah dan kritik. Sebelum revisi, kata dia, seorang pengkritik presiden bisa lebih rentan dipidana karena masih banyak celah hukum yang ada.
Dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan bahwa "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Dalam ayat selanjutnya ditambahkan, "Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri".
Menurut Jokowi, pasal itu ada untuk melindungi presiden sebagai simbol negara. "Kalau kita lihat di negera yang lain, sebagai symbol of state itu ada semuanya. Tapi, kalau di sini inginnya tidak, ya terserah nanti di wakil-wakil rakyat," ucap dia.
Berbeda dengan Jokowi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqqie menilai bahwa alasan pemerintah yang menganggap posisi presiden sebagai simbol negara dianggap sebagai warisan pemikiran feodal. Pemikiran itu dianggap tak lagi relevan dengan era demokrasi.
Menurut dia, persoalan lambang negara sudah diatur secara khusus dalam Pasal 36 a Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan bukan presiden.