TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus pembelian aset BTN oleh Victoria Securities Internasional Corporation (VSIC) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang terjadi pada tahun 2003 silam harus dilihat kebenaran kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Apakah benar pemerintah kala itu memutuskan untuk memasukkan BTN ke BPPN untuk diselamatkan karena situasi krisis atau tidak saat itu.
Untuk diketahui saat kasus terjadi pada tahun 2003 silam Presiden kala itu dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri yang baru saja menggantikan KH Abdurrahman Wahid yang dimakzulkan.
"Itu harus dilihat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemimpin ketika itu, apakah benar karena ada situasi krisis. Tentunya kebijakan itu ada di Presiden saat itu. Apakah dengan adanya itikad baik sehingga aset itu dijual," kata pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Muzakir, dalam pernyaaannya Kamis (27/8/2015).
Dia menilai, jika penjualan seluruh aset termasuk aset yang dibeli oleh VSIC merupakan buah kebijakan pemerintah ketika itu, maka dalam hal ini Presiden yang menjabat saat itu harus bertanggung jawab.
"Kalau Jaksa kan melihat ada kerugian negara atau tidak, jika terkait dengan kebijakan maka dalam hal ini Presiden menjabat saat itu harus bertanggung jawab," ujar Muzakir.
Perlu diketahui, kasus cessie BPPN berawal saat PT Adyaesta Ciptatama mengajukan kredit senilai Rp 469 miliar untuk membangun perumahan seluas 1.200 hektar di Karawang, Jawa Barat ke bank BTN.
Saat krisis moneter, bank yang memberikan pinjaman itu termasuk program penyehatan BPPN. Waktu kasus itu terjadi pada era Megawati menjabat Presiden RI dan kepala BPPN 2002-2004 Syafruddin Tumenggung.
Berdasarkan surat notifikasi BPPN Nomor Prog-7207/BPPN/0903, tanggal 1 September 2003 VSIC diumumkan sebagai pemenang atas aset di Karawang.
Sepekan setelah diumumkan pihak VSIC langsung membayar kewajiban jual-beli dengan obyek hak tagih terhadap AG dengan nilai Rp 32 miliar.
Perjanjian tersebut ditandatangani dalam Perjanjian Pengalihan Piutang Nomor 57 di depan notaris Eliwaty Tjitra SH tanggal 17 November 2003.
Pembelian aset inilah yang kemudian dijadikan dasar Kejaksaan Agung melakukan penyidikan.
Rendahnya nilai jual pengalihan piutang dinilai merugikan negara oleh Kejaksaan Agung. Padahal jika merunut kebijakan BPPN kala itu memang memberikan diskon besar-besaran kepada siapa saja yang mau membeli aset dari obligor bermasalah.
Setidaknya ada sekitar 3.000-4.000 dengan status lengkap data kepemilikanya. Aset bermasalah itu diperkirakan berjumlah 2.400-3.400 aset. Total nilai aset saat ini mencapai ratusan triliun.
Kondisi inilah yang membuat pasar tidak merespon positif lelang yang dilakukan BPPN. Sampai akhirnya memunculkan ide untuk memberikan diskon.