TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah melalui perjuangan panjang pemerintah selama delapan tahun, Kemenlu akhirnya berhasil memulangkan Satinah bt Jumadi Amad, WNI terancam hukuman mati asal Ungaran, ke Tanah Air.
Upaya diplomatik terakhir untuk membebaskan Satinah dilakukan saat kunjungan Menlu Retno Marsudi ke Arab Saudi, bulan Mei lalu. Dalam kunjungan tersebut Menlu Retno menyampaikan harapan agar Satinah yang telah telah membayar diyat dan mendapatkan pemaafan dari ahli waris korban melalui pengadilan hak khusus dapat dibebaskan dari ancaman hukuman mati di persidangan hak umum.
Satinah yang sejak setahun terakhir terserang stroke tiba di Jakarta pada hari ini (2/9/2015) Pukul 11.00 dengan Saudi Airlines SV 822, didampingi Atase Hukum dan pejabat Konsuler KBRI Riyadh.
Proses pemulangan Satinah dimulai setelah adanya pemberitahuan pada tanggal 30 Agustus 2015, dari Pengacara KBRI Riyadh, Radhwan Al Musigeeh, yang mengkonfirmasi nota banding Jaksa Penuntut Umum ditolak hakim dalam persidangan hak khusus. Dengan demikian, keputusan hakim yg hanya mengganjar penjara delapan tahun bagi Satinah untuk dua tindak pidana dengan sendirinya menjadi ketetapan dan Satinah dapat segera dipulangkan.
"Mendengar informasi tersebut wakil duta besar segera perintahkan kami untuk mengurus administrasi keimigrasian yg seringkali menjadi kendala pemulangan. Namun karena diplomasi yang dilakukan sebelumnya oleh Menlu RI, upaya kami dimudahkan oleh otoritas setempat," kata Muhibuddin, Atase Hukum KBRI Riyadh dalam keterangannya diterima Tribunnews.com
Setibanya di Jakarta, Satinah langsung dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lanjutan sebelum nantinya dipulangkan dan dirawat di Ungaran. Untuk penangan pascaketibaan di Jakarta Kemenlu RI telah berkoordinasi dengan BNP2TKI dan Pemda Jawa Tengah.
Sekedar pengingat, Satinah binti Jumadi Amad (43 tahun) divonis hukuman mati (qishas) karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap majikannya, WN Arab Saudi, Nurah Al Gharib (70 tahun), pada tanggal 26 Juni 2007.
Satinah mendapatkan pemaafan melalui mekanisme pembayaran diyat sebesar SR 7 juta (sekitar Rp 21 miliar) yang dibayarkan Mei 2014 lalu. Tapi meski mendapatkan pemaafan dari ahli waris melalui pembayaran diyat tidak dengan sendirinya membebaskan Satinah dari ancaman hukuman mati karena Satinah masih harus menjalani ancaman hukuman mati di pengadilan hak umum, baik untuk pidana pembunuhan dan 2 pidana lainnya yaitu pencurian dan zina muhson.
"Kasus ibu Satinah ini adalah pelajaran berharga bagi kita bahwa pembayaran diyat memang membuka peluang lebih besar bagi pembebasan WNI terancam hukuman mati di Arab Saudi, tapi tidak sendirinya membebaskan terdakwa dari tuntutan hukuman mati di pengadilan hak umum. Dengan demikian, diyat mestinya tidak menjadi solusi utama," kata Direktur Perlindungan WNI, Lalu Muhammad Iqbal.
Dengan berlanjutnya kasus Satinah ke pengadilan hak umum sejak Mei 2014, Kemenlu terus memperjuangkan pembebasan Satinah dari ancaman hukuman mati antara lain dengan meminta Atase Hukum KBRI Riyadh menyusun strategi baru, termasuk dengan mengganti pengacara yang menangani kasus tersebut, memfasilitasi kunjungan keluarga dan melakukan diplomasi perlindungan WNI yg kbh intensif.
Selama 8 tahun Satinah mendapatkan pendampingan dari 4 pengacara yang berbeda, terakhir oleh Ridhwan Al Musyaigeeh bersama dengan pengacara in-house KBRI Riyadh, Muhammad Ahmad Al Qorni. Selama kurun waktu tersebut Pemerintah juga memfasilitasi kunjungan keluarga sebanyak 4 kali dan kunjungan ke penjara oleh pejabat KBRI maupun Kemenlu Indonesia lebih dari 90 kali.
Sementara itu upaya diplomatik yang dilakukan antara lain lebih dari lima kali surat Duta Besar kepada Raja, terakhir oleh Wakil Menteri Luar Negeri, AM Fachir, yang saat itu menjabat Duta Besar di Riyadh.
Selain itu juga penyampaian surat Presiden kepada Raja Arab Saudi sebanyak 3 kali, kunjungan utusan khusus Presiden RI ke Arab Saudi sebanyak 3 kali dan puncaknya adalah kunjungan Menlu Retno ke Arab Saudi bulan Mei lalu yang diterima langsung oleh Raja Salman dan Menlu Arab Saudi.
Dari upaya-upaya tersebut Pemerintah berhasil menunda eksekusi sebanyak lima kali dan menurunkan besarnya tuntutan diyat sebanyak dua kali dari yang semula SAR 15 juta menjadi SAR 10 juta dan terakhir SAR 7 juta.