TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Antikorupsi menganggap Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Alexander Marwata yang lolos delapan besar Capim KPK, selama ini kurang mendukung upaya KPK dalam memberantas korupsi.
Itu berdasarkan catatan pihaknya dari beberapa putusan Alexander selama memimpin persidangan.
"Soal visi, berseberangan dengan KPK. Ada disentting opinion putusan pengadilan, bahkan membebaskan terdakwa kasus korupsi," kata anggota Koalisi yang juga Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting di Jakarta, Rabu (2/9/2015).
Seperti perkara suap Pilkada Lebak, Banten, dengan terdakwa Ratu Atut Chosiyah, yang ditangani Alexander. Dia tak sependapat dengan hakim lainnya mengenai dakwaan tindak pidana pencucian uang.
Selain itu, Alexander juga berbeda pendapat dalam kasus suap mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo sebesar 190.000 dollar AS, yang melibatkan Direktur PT Soegih Interjaya, Willy Sebastian Liem.
Menurut Miko, perbedaan pendapat Alexander yang paling menonjol, yaitu terkait dengan dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Alexander berpendapat bahwa TPPU baru bisa dikenakan pada terdakwa, apabila tindak pidana awal telah dibuktikan terlebih dahulu.
"Padahal undang-undang memperbolehkan seseorang didakwa dalam kasus TPPU tanpa harus dibuktikan pidana sebelumnya. Jadi pendapatnya berlawanan dengan undang-undang," kata Miko.
Menurut Miko, Koalisi berharap DPR dapat melakukan uji kelayakan Capim KPK dengan mempertimbangkan rekam jejak para kandidat, khususnya dalam mendukung pemberantasan korupsi. Menurut Miko, saat ini adalah waktu yang tepat bagi DPR untuk menunjukan komitmen dalam penguatan KPK.