TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Operasi militer dengan mengerahkan tentara harus dilakukan untuk membebaskan dua Warga Negara Indonesia (WNI) yang disandera OPM di Papua Nugini.
Opsi tersebut bisa digunakan sebagai pilihan terakhir apabila langkah negosiasi untuk membebaskan dua WNI yang disandera menemui jalan buntu.
"Mengerahkan tentara, apalagi Kopassus itu pilihan terakhir jika upaya negosiasi gagal. Kalaupun memilih operasi militer, cukup pasukan Raider, tidak perlu menurunkan Kopassus apalagi Sat-81," kata mantan Kasum TNI Letjen (Purn) Suryo Prabowo dalam pernyataannya yang diterima Tribunnews.com, Kamis (17/9/2015).
Suryo mengatakan penyanderaan dua WNI oleh OPM sejak 8 September lalu sebenarnya tak perlu dibesar-besarkan. Apalagi selama ini hubungan RI dan Papua Nugini berjalan baik dan harmonis.
Hanya saja lanjut eks Perwira Kopassus ini apabila negosiasi yang dilakukan mentok alias deadlock maka operasi militer jadi pilihan terakhir.
"Tentu kita berharap pemerintah PNG dapat lakukan negosiasi dengan penyandera. Tidak perlu emosional, kirim pasukan, apalagi Kopassus," jelasnya.
Suryo menambahkan, Kopassus memang sudah combat proven. Bila pilihannya menerjunkan Kopassus, pasti mereka akan lakukan tugas itu penuh kebanggaan. Bagi Kopassus, apapun tugas negara, asal untuk menyelamatkan masyarakat, merupakan kehormatan.
"Kopassus sudah teruji dan terlatih selalu sukses dalam operasi pembebasan sandera seperti operasi Woyla tahun 1981 di Thailand dan Mapenduma di Papua tahun 1996. Kalau pemerintah gunakan Kopassus, apalagi Sat 81, itu sama saja membunuh nyamuk pakai martil," katanya.
Hingga saat ini pemerintah Indonesia terus membangun komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah Papua Nugini terkait penyaderaan dua warga negara Indonesia oleh OPM. Guna membantu penyelamatan sandera, pihak tentara PNG sudah menyiapkan kekuatan besar dari Port Moresby, Ibu Kota PNG.
Negosiasi Deadlock, Operasi Militer Pembebasan WNI Harus Dilakukan
Editor: Dewi Agustina
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger