TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI, Masinton Pasaribu akan menyampaikan laporan dugaan gratifikasi dari direktur utama PT Pelindo II RJ Lino kepada Menteri BUMN Rini Sumarno.
Laporan yang berasal dari informasi dan dokumen yang diterima dari masyarakat itu akan dilanjutkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (22/9/2015) pukul 10:15 WIB.
"Saya akan meneruskan informasi dan menyampaikan dokumen tersebut ke KPK untuk mengklarifikasi keabsahannya, hari Selasa, 22 Sept 2015, Jam 10.15 WIB, bertempat di gedung KPK, Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jaksel," demikian tulis Politisi PDI Perjuangan ini pada Undangannya kepada Tribun, Senin (21/2015).
Sebelumnya, Masinton menduga ada upaya "menyalahgunakan" opini dilakukan oleh RJ Lino dalam keputusan perpanjangan konsesi JICT.
Menurutnya, ada sisi lex specialis yang seharusnya ditinjau dalam keputusan perpanjangan konsesi JICT.
Menurut Masinton, Legal opini jamdatun yang menyatakan Pelindo II dapat memperpanjang konsesi JICT berdasarkan pasal 1338 KUH Perdata tidak tepat dan tidak mendasar.
Karena mengesampingkan UU Pelayaran yang merupakan lex specialis. Pun tidak kontekstual dan cenderung tak sesuai dengan paradigma hukum modern.
Seharusnya prinsip kebebasan berkontrak, vide pasal 1338 KUH Perdata merupakan prinsip hukum yang berlaku awal abad 19 sewaktu doktrin pemikiran ekonomi Welfare State, dipahami sebagai prinsip negara hukum kesejahteraan.
Artinya, kata dia, Negara lakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan.
Tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut yang dalam konstitusi kita menjadi dasar dibentuknya perusahan negara BUMN (state of entrepreneurship).
Karena itu, tegas dia, Undang-undang yang seharusnya dijadikan pijakan perpanjangan konsesi JICT adalah UU no 17 tahun 2008 tentang pelayaran.
"Maka tindakan IPC/Pelindo II memperpanjang kontrak JICT yang terindikasi kuat tidak berpijak pada UU tersebut adalah sebuah kebijakan yang cacat hukum. Karena itu kontrak tersebut bisa dibatalkan," tegas Politisi PDI Perjuangan ini kepada Tribun, Jakarta, Sabtu (19/9/2015).
Disisi lain legal opini jamdatun tidak mengikat secara hukum, karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang mengaturnya, yaitu UU Pelayaran tersebut.
"Legal opini jamdatun tidak mengikat secara hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Lex spesialis derogat legi generalis," tandasnya.
Dalam ilmu perundang-undangan, jika peraturan yang bersifat umum dan khusus bertemu, maka yang dipakai adalah yang bersifat khusus, demikian dia mengingatkan RJ Lino.
"Rasanya sudah banyak bantahan terhadap apologia (kebohongan) RJ Lino tentang Opini Jamdatun yang dijadikan dasar konsesi JICT-HPH Hongkong," ujarnya.
Melihat hal itu, kata dia, Publik pun bisa menilai. Bagi Masinton, kini saatnya hukum bertaring. Sebagai negara hukum (rechtstaat), tak bisa dibenarkan sebuah tindakan yang hanya berpijak pada kekuasaan semata (machtstaat).
"Saatnya Revolusi Mental dijalankan dalam penegakkan hukum Indonesia. Salah satunya, tuntaskan "Pelindo Gate" dengan perundang-undangan yang berlaku, tegakkan hukum tanpa tebang pilih dan tanpa intervensi!!" Demikian Masinton tegaskan.