TRIBUNNEWS.COM – Indonesia merupakan negeri yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Mulai dari Sabang hingga Merauke terbentang begitu luas potensi energi yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan.
Kebutuhan listrik adalah salah satunya. Hal tersebut merupakan dasar bagi keberlangsungan hajat hidup orang banyak. Perhatian terhadapnya pantas dikembangkan lebih mendalam oleh berbagai pihak. Pasalnya kini terdapat kekhawatiran suplai listrik Indonesia tidak lagi mencukupi untuk kebutuhan jangka panjang.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kebutuhan energi listrik di Indonesia tumbuh sebesar 6,4 persen per tahun. Angka pertumbuhan tersebut menyiratkan kemampuan penyediaan pasokan tenaga listrik Indonesia perlu ditambah.
Beruntung sekarang banyak cara bisa dilakukan untuk menambah pasokan tenaga listrik. Mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan adalah salah satunya. Sampai saat ini tersedia banyak pilihan pengembangan sumber energi baru dan terbarukan.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) merupakan solusi utama untuk memecahkan persoalan tersebut.
Sebagai langkah awal, program pembangunan Reaktor Daya Eksperimantal (RDE) telah dilaksanakan di Serpong, Tangerang Selatan. Di sana tengah dikembangkan pra-proyek untuk membuat konsep desain, penentuan perkiraan biaya, dan evaluasi lokasi bagi pembangunan PLTN di Indonesia. Diharapkan pada akhir 2015 tahap pra-proyek RDE tersebut telah rampung sehingga pembangunan PLTN benar-benar bisa terealisasi di Indonesia.
Menurut Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Djarot Sulistio Wisnubroto, program RDE dilakukan untuk mengenalkan pada masyarakat reaktor nuklir yang bisa menghasilkan listrik dalam waktu sedini mungkin.
“Sehingga masyarakat bisa mengetahui, merasakan, dan memahami apa reaktor nuklir penghasil listrik tersebut. Kelak RDE ini menjadi semacam pilot plant untuk pembangunan PLTN berskala kecil atau sedang di berbagai daerah di Indonesia, terutama di bagian timur,” ujar Djarot pada Kamis (17/9/2015).
Pembangunan PLTN berskala kecil atau sedang memang tengah menjadi wacana yang berkembang baru-baru ini. Menurut perhitungan BATAN yang didukung kajian beberapa perguruan tinggi dan kementerian serta lembaga terkait, Indonesia mulai bisa mengoperasikan PLTN sekitar tahun 2024-2030.
Lamanya perencanaan waktu operasi PLTN tersebut terjadi karena daya listrik yang bisa diperolehnya sangat besar. Djarot mengatakan daya listrik satu PLTN bisa mencapai 1000-1400 MW, dalam satu lokasi tapak bisa dibangun beberapa unit PLTN. Besarnya daya listrik yang bisa diperoleh dari PLTN menjadi alasan bagi BATAN untuk mendesak pemerintah segera memperhatikan pembangunan PLTN.
“BATAN merekomendasikan supaya Pemerintah bisa segera menetapkan pembangunan PLTN tersebut,” ujar Djarot.
Dukungan terhadap pembangunan PLTN juga mengemuka lewat beberapa faktor lain. Salah satunya perbandingan tingkat konsumsi listrik per kapita dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Sampai saat ini Malaysia sudah mengonsumsi listrik 5 kali lebih besar dibanding Indonesia. Mereka telah siap akan membangun PLTN.
Sementara Vietnam, suatu negara kecil yang tingkat konsumsi listrik per kapitanya tidak sebesar Indonesia, bahkan telah memutuskan untuk membangun PLTN dalam mendukung pasokan listrik domestiknya.
Melihat fakta-fakta tersebut, sudah sewajarnya jika Indonesia memperhitungkan program pembangunan PLTN dalam beberapa tahun mendatang. Adanya PLTN tersebut menjamin ketersediaan pasokan listrik Indonesia di masa depan.
International Atomic Energy Agency (IAEA), suatu badan internasional yang menangani masalah nuklir pun menyatakan, sampai saat ini sebanyak 438 PLTN telah beroperasi di 30 negara di dunia dan sebanyak 67 PLTN dalam tahap pembangunan.
Untuk itu, agar Indonesia mampu menjadi negara yang sejajar atau bahkan lebih maju dibanding negara lain, pembangunan PLTN merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi.
“Salah satu kelebihan PLTN adalah menghasilkan emisi karbon yang rendah, sehingga banyak negara mulai menggunakan PLTN untuk membuat lingkungan udara menjadi bersih,” lanjut Djarot.
Djarot pun mencontohkan negara Tiongkok kini sudah mulai mengurangi pembangunan PLTU Batu Bara dan memperbanyak pembangunan PLTN.
“Saat ini Tiongkok mengoperasikan 26 PLTN dan sedang membangun 26 PLTN baru lagi,” tukas Djarot.
Dukungan terhadap pembangunan PLTN juga dikemukakan salah seorang anggota Komisi VII DPR RI yang membidangi Energi Sumber Daya Mineral, Riset & Teknologi dan Lingkungan Hidup, Kurtubi.
Menurutnya, PLTN dapat menghasilkan listrik berkapasitas besar dan average cost-nya rendah mengalahkan batu bara. Maka dari itu ia menyatakan pihak-pihak terkait bisa memberi kesempatan pada teknologi nuklir untuk mengembangkan ketersediaan pasokan listrik Indonesia di masa depan.
Uranium, “Si Nomor 92” yang Menjadi Kunci
Jika melihat tabel periodik kimia, uranium memiliki lambang U dan bernomor atom 92. “Si Nomor 92” inilah yang menjadi kunci dalam proses pengembangan teknologi nuklir yang dikembangkan BATAN.
Djarot mengatakan uranium merupakan sumber energi yang sangat berpotensi menghasilkan panas lebih baik dibanding yang lain.
Sekitar 1 kilogram batu bara, menurut Djarot, hanya dapat menghasilkan 8 kWh panas. Sementara 1 kilogram mineral minyak hanya bisa menghasilkan 12 kWh panas.
Hal itu berbanding terbalik dengan uranium. Sumber energi yang banyak terdapat di Indonesia itu mampu menghasilkan 24 juta kWh panas di setiap 1 kilogram kandungannya.
“Suatu perbedaan luar biasa di antara sumber energi yang ada di dunia,” ungkap Djarot.
Indonesia sendiri memiliki kandungan uranium yang sangat besar. BATAN menyatakan total potensi kandungannya mencapai 70.000 ton di seluruh Indonesia.
Wilayah yang menjadi sumber uranium adalah Kalan di Kalimantan Barat, Mamuju di Sulawesi Barat, Bangka-Belitung, serta Papua.
Selain itu uranium juga memiliki kelebihan lain, yakni mudah dipindahkan ke mana saja sesuai kebutuhan dan kepentingan.
Namun, Djarot menegaskan lokasi pembangunan PLTN tidak ada hubungannya langsung dengan berapa kandungan uranium. Selain karena uranium mudah dipindahkan ke mana saja, lokasi pembangunan PLTN juga ditentukan oleh beberapa faktor lain.
“Misalnya pemilihan lokasinya di Bangka. Bukan karena ada kandungan uranium di tempat tersebut, tapi karena potensi gempa dan tsunaminya sangat kecil serta dekat dengan Pulau Sumatera sehingga listriknya bisa ditransmisikan ke Sumatera dan Jawa,” tutur Djarot.
Paparan mengenai uranium tersebut menambah prospek cerah peningkatan pasokan listrik Indonesia melalui nuklir. Kesempatan itu tentunya jangan dilewatkan begitu saja. Sebab nuklir tercatat memiliki beberapa keunggulan lain dibanding pembangkit listrik lainnya.
Namun, tentu saja semua prospek cerah itu memerlukan kerja keras dan sinergi berbagai pihak. Kita semua harus sepakat untuk terus memajukan Indonesia di masa depan, sehingga kebutuhan mendasar masyarakat seperti listrik mampu terpenuhi dengan maksimal. (advertorial)